Minggu, 24 Oktober 2010

Tradisi dan Budaya


Landasan Dasar Tradisi
Salah satu ciri dasar dari Ahlussunah Wal Jama`ah adalah sikap Moderat (tawassuth)  sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada prilaku keagamaan yang Ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan Budaya, karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kwalitas hidupnya. oleh karena itu salah satu karakter dasar dari setiap budaya perubahan yang terus menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. dan karena diciptakan oleh manusia maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.

Menghadapi tradisi / budaya, ajaran Ahlussunah Wal Jama`ah mengacu pada kaidah fiqhiyyah المُحَافَضَة عَلَى القَدِيد الصّالح وَ الأحد بِا لجديد الأصلح artinya : "memprertahankan kebaikan warisan pada masa yang laludan mengreasi hal yang baru ysng lebih baik" kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. seseorang harus bisa mengreasi hasil hasil kebaikan yang dibuat orang orang terdahulu (tradisi yang ada) dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau menciptakan tradisi baru yang lebih baik. sikap seperti ini memicu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya
Oleh karena itu kaum Ahlussunah Wal Jama`ah tidak apriori terhadap tradisi, bahkan fiqih aswaja menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan  sebuah hukum, hal ini tercermin dalam salah satu Koidah fiqih " Al Adatu muhakkamatun " artinya adat / tradisi menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum.
Sikap tidak apriori terhadap tradisi memungkinkan kaum Aswaja bertindak selektif terhadap tradisi. sikap ini penting untuk menghindarkan diri dari sefat keberagaman yang destruktif terhadap tradisi setempat. sikap selektif kaum aswaja ini mengacu kepada salah satu kaidah fiqih " Ma la Yudroku kulluhu la yadruku kulluh " artinya jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, maka tidak harus ditinggal semua
Sikap terhadap Tradisi
Pertanyaan penting yang perlu dijawab dibagian ini adalah " Bagaimana menggunakan kaidah kaidah Fiqih dalam menyikapi tradisi ?" banyak orang yang mempertentangkan antara budaya dengan agama. 
hal ini karena agama berasal dari Allah yang bersifat sakral (ukhrowi) sedangkan budaya adalah kreasi manusia yang bersifat Profan (duniawi) akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dipisahkan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikan.
Ahlussunah Wal Jama`ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara Proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia , baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini berlaku kaidah " المُحَافَضَة عَلَى القَدِيد الصّالح وَ الأحد بِا لجديد الأصلح artinya : "Melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik" 
Dengan memggunakan kaidah ini, pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah mempunyai pegangan dalam menyikapi tradisi. yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan maka bisa diterima, bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak diikuti. ini sebagaimana kaidah fiqih العادة محكّمـة " Al `Adatu Muhakkamatun " bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dialog kreratif dengan budaya yang ada, dengan dialog bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing masing. dari proses ini memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsur unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun didalamnya mungkin menyimpan butir butir kebaikan. menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsur unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsur unsur lain agar sesuai dengan Islam. inilah makna kaidah fiqih " Ma La Yadruku kulluhu, La Yutroku kulluhu"
Contoh dalam hal ini adalah Slametan atau Kondangan atau Kendurinan yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. jika kelompok lain memandang Slametan / Kenduren sebagai bid`ah yang harus dihilangkan, kaum Ahlussunah Wal Jama`ah memandang secara proporsional. Yaitu bahwa didalam acara Slametan ada unsur unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal hal yang dilarang agama. unsur kebaikan dalam Slametan antara lain : Merekatkan persatuan dan kerukunan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo`akan orang yang sudah meninggal dunia. semua ini tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada alasan untuk melenyapkanya sekalipun tidak pernah di praktekan oleh Nabi Muhammad SAW. sementara hal hal yang bertentangan dengan ajaran Islam - misalnya Sesaji untuk mahluk halus bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan pelan dengan penuh kearifan.


Pembacaan "Manaqib Syeh Abd Qodir Al Jailani" Yasinan dan Tahlilan
yang dilakukan sebelum "Nduduk" tanah yang akan dibangun sebuah bangunan, adalah salah satu contoh tradisi orang Jawa kuno yang senantiasa dilakukan oleh kaum Ahlussunah Wal Jama`ah


Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman yang jelas. dan dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad SAW sebagai panutanya, satu misal, Haji adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan Ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran Syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para shahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum Sunni / Ahlussunah Wal Jama`ah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum Sunni/Ahlussunah Wal Jama`ah sangat berbeda dengan kaum Non-Sunni. kaum sunni/Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dakwah dengan cara yang arif. Pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah tidak melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai  " sesat ". Jika saat ini banyak kita temua cara cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumpuran darah, hal itu sama sekali tidak sesuai dengan tuntunan dan kaidah Ahlussunah Wal Jama`ah.
Cara dakwah dengan kekerasan dengan menyalahkan dan mengkafir kafirkan serta memusrikan orang lain dapat kita temui diakhir akhir ini, baik lewat tindakan nyata maupun lewat tulisan tulisan (buku maupun di dunia maya). Adapun para pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dakwahnya dengan cara bijaksana dan penuh kearifan
Imam Syafi`i, salah satu pendiri Mazhab fiqih Sunni menyatakan " Kullu Ro`yi Showab Yahtamilu Khotho` Wa Kullu Ro`yi Khotho` Yahtamilu Showab " (pendapatku adalah benar, tetapi mengandung kemungkinan untuk salah, pendapat orang lain salahtetapi mengandung kemungkinan untuk benar). ini merupakan sebuah sikap yang seimbang yang teguh dengan pendirianya, tetapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang menandu kaum Ahlussunah Wal Jama`ah untuk tidak dengan mudah berprilaku seperti " Preman Berjubah " yang berteriak Allahu Akbar  sambil mengacung acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat, seakan akan mereka paling benar dan orang lain salah dan sesat.



Selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dari kematian seseorang, bahkan selamatan dalam menghadapi sesuatu hal, adalah tradisi orang jawa 

Sikap toleran dan proporsional seperti dakwah kaum Ahlussunah Wal Jama`ah inilah yang dicontohkan oleh Waisongo dalam menghadapi tradisi lokal. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damai dalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan hormat menghormati.

Oleh : Sekretaris MWC NU Karangdadap
berdasarkan beberapa Literatur 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar