Sabtu, 18 Desember 2010

Pengkaderan IPNU IPPNU mengalami kemunduran


Pengkaderan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) mengalami kemunduran.  Padahal, IPNU dan IPPNU sebagai garda terdepan NU yang membidangi kaum muda khususnya masyarakat pelajar, seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai keagamaan yang berdasarkan aliran ahlussunah wal jamaah (Aswaja).
“Pelatihan ini merupakan bentuk promosi kita kepada mereka dalam rangka merekrut kader-kader yang akan menjadi penerus bangsa masa depan. Tapi, jika dicermati dari masa awal perjuangannya kini mengalami kemunduran yang drastic,”tandas Ketua umum PP IPNU, Margaret Aliatul Maemunah.
Acara Latihan Kader Utama (LAKUT) yang diadakan oleh PW IPNU-IPPNU DKI Jakarta, pada Sabtu. 27 November 2010 di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Cilandak Jakarta Selatan.
Kemunduran itu lanjut Margaret, itu disebabkan oleh hilangnya ruh perjuangan dan kepedulian terhadap IPNU dan IPPNU dalam diri individu masing-masing. Oleh sebab itu tugas kita sekarang adalah menghadirkan kembali semangat perjuangan itu sehingga kejayaan IPNU-IPPNU akan bangkit kembali dan bukannya tinggal kenangan.
Sementara itu Wakil ketua PWNU DKI Jakarta KH Muhyiddin Ishak mengatakan tanpa ada IPNU dan IPPNU, NU tidak berarti apa-apa. Karena itu ke depan anak-anak muda harus lebih giat lagi dalam mempertahankan tradisi-tradisi ke-NU-an yang akhir-akhir ini sudah banyak dilupakan.
“NU tanpa ada gerakan kaum muda tidak akan berarti apa-apa. Karena itu tantangan yang dihadapi  anak-anak muda khususnya IPNU dan IPPNU sekarang lebih berat, sehingga dalam pengkaderannya pun harus disertai dengan manajemen yang matang,” tutur  Muhyiddin yang juga pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum itu  mengingatkan.
Selain itu lanjut Muhyiddin IPNU dan IPPNU agar bisa merekrut kader-kader yang berbasis sekolah umum, karena sebetulnya merekalah yang membutuhkan pendamping dalam mengembangkan pengetahuan, dan disitulah tugas IPNU dan IPPNU adalah mendampingi pelajar.
Hery Susanto,  Ketua PW IPNU DKI Jakarta berpendapat Lakut ini diadakan selama dua hari sejak 27-28 November 2010. Sedangkan peserta dihadirkan dari tiap-tiap cabang yang sudah pernah mengikuti proses Makesta dan Lakmud. Penylengaraan Lakut ini bekerjasama dengan IPPNU.
Menurutnya pelatihan ini diharapkan ada kebersamaan antara IPNU dan IPPNU dalam menghadapi permasalahan yang sama-sama menangani pejalar.  (Zakaria)

Doktrin Ahlussunah Wal Jama`ah

KH Said Aqil Siradj: Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Jakarta (Ansor Online): Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi’ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-’Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً
Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari’at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).

b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi “perkampungan dunia”, maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.***
dikutip dari Ansor Online- PP. GP. Ansor

Kamis, 16 Desember 2010

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW

oleh: KH Muhyiddin Abdusshomad
Ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu. 
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:
"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَخُوا

Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم

Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

Minggu, 05 Desember 2010

Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharrom 1432 H.

Ada baiknya kita tidak membicarakan tentang cara menyambut datangnya tahun baru ini baik dengan gebyar gebyar sebagainama datangnya tahun baru 1 Januari maupun secara tradisional dengan cara membaca Yasinan dan Tahlil atau dengan cara membaca kitab " Barzazji " dan Sholawat di Musholla atau Masjid, karena semua itu tidak akan mempengaruhi rotasi waktu yang memang sudah menjadi Sunnatullah.

Akan tetapi kita harus melihat ke masa depan tanpa mengabaikan pengalaman masa lalu yang telah kita lewati. kita tentu tidak termasuk golongan orang yang kelewat mengagumi masa lalu, dan juga bukan termasuk yang pesimistis menghadapi masa yang akan datang.

Apa artinya dengan tahun 1432 Hijriyah itu …. ?
Yang pertama adalah bahwa sudah lebih dari 14 abad agama Islam telah memberikan kontribusi bagi kemanusiaan dan perkembanganya di dunia ini. Agama Islam yang telah diamalkan oleh pengikutnya, telah berperan secara aktif dalam proses pembentukan watak manusia berbudi luhur, berahlak mulia dan berilmu pengetahuan.

Sejarah umat manusia mencatat bahwa proses tersebut telah berlangsung pada paruh kedua millinium pertama atau babak seribu tahun pertama, dan paruh kedua pada millinium kedua (babak seribu tahun kedua)

Yang kedua Pewarisan ajaran Islam yang bersumber dari Wahyu (Al Qur`an) telah menjadi sumber daya manusia di bumi, sejak dari Rosulullah SAW, para sahabat, para tabi`in, para tabi`ut tabi`in, dan seterusnya hingga sekarang sosok manusia sebagai hamba Allah dan skaligus sebagai Kholifah Allah di muka bumi ini telah menjadi mata rantai dalam mengamalkan dan menjaga kemurnian ajaran Islam, yaitu membangun manusia yang jiwanya diisi dengan Iman, Akal/Intlektualitas manusia diisi dengan hikmah dan ilmu pengetahuan, prilaku hidupnya diisi dengan amal sholih dalam rangka ta`abud kepada Allah SWT. Maha suci Allah yang telah menjadikan dampak sumber daya Al Qur`an, yang dipahami dan diamalkan manusia terdahulu, telah mengubah masyarakat Jahiliyah Arab dari kegelapan. dan telah memberi Inspirasi dalam mengarahkan langkah aktifitas kehidupan manusia yang memiliki nilai transsendental sekaligus nilai universal bagi umat manusia.

Sebagai contoh, pada zaman keemasan Islam pada abad 8 – 14 dapat dikenang melalui peninggalan karya ilmuwan muslim yang hidup pada zaman itu (dalam bidang Astronomi) tidak sedikit yang bisa disebutkan, seperti peninggalan Observatorium non optik, Catalog nama bintang oleh Al Sufi (abad 10 / 903-896 SM), Ulugh Behgh (abad 13) merupakan contoh sumbangan umat Islam pada ilmu pengetahuan. Banyak lagi Ilmuwan seperti Nasiruddin at Tusi (abad 13). di Baghdad, Abdul Abbas al Saffah (abad 8), Harun Al Rosyid (abad 8-9), dan Al Makmun (abad 9) yang dikenal sebagai pendiri Taman Bacaan Hikmah. Dari Taman Bacaan itu ratusan buku buku YunaniPersiaIndia dan sebagainya telah diterjemahkan dan dipelajari.

Proses transmisi pengetahuan dari zaman Pra Islam dan dikembangkan pada zaman Islam. Maka lahirlah sejumlah Ilmuwan Muslim abad 9-10 yang dikenal dalam dunia Barat seperti Al Khowarizmi (825 M), Al Buttani (900 M),Ibn Al Haitami (1000 M) Al Buruni (1000 M) dan masih banyak lagi.
Dari data sejarah kita tahu bahwa abad 8-14 kontribusi pengetetahuan didominasi oleh Ilmuwan muslim. itulah masa masa yang amat membanggakan. Namun setelah itu yang terjadi adalah Degradasi, sebab pada kurun waktu abad 14 hingga penghujung abad ke 2 M kontribusi Ilmuwan muslim pada Ilmu pengetahuan terus menurun. IPTEK dunia Islam terpuruk setelah mengalami masa keemasan. Dampaknya juga menimpa pada kwalitas hidup dan kwalitas beragama, peran Islam dalam Amar Ma`ruf nahi mungkarpun menjadi kurang berbobot.

Pengungkapan kembali kemunduran IPTEK di dunia Islam harus dimaknai sebagai Intropeksi dan menggugah diri kita sendiri disaat menyambut datangnya tahun baru Hijriyah sekarang ini. sebagaimana yang telah disebutkan diatas kita tidak akan menjadi orfang yang terlena dengan kejayaan Islam masa lalu, namun juga tidak menjadi penakut dalam menghadapi masa depan. kita harus bersikap proporsional, bahwa masa lalu adalah perjalanan yang openuh pengalaman  Experience is the best teacher  (pengalaman merupan guru yang terbaik) dan semua itu menjadi modal perjalanan kita menuju masa depan yang lebih baik

Mungkinkah Islam bisa BANGKIT …? Kembali mengejar ketertinggalan !  
Pertanyaan tersebut pasti menyangkut masa depan Islam dan Umat Islam, dan hanya kita sendiri yang yang harus menjawab.

Ada tiga hal yang dapat menghambat ketika kita ingin bangkit dari keterpurukan yaituKebodohan, Kemiskinan dan Keterbelakangan. ketiga hal ini adalah musuh kita bersama yang harus kita atasi, karena salah satu pilar penting kemajuan suatu bangsa adalah penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan kata lain ketiga musuh kita bersama itu dapat ditaklukkan dengan penguasaan IPTEKyang dibungkus dengan Ahlakul Karimah. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita agar kita semua, bangsa Indonesia mampu mengatasi segala persoalan yang melilitnya dan mampu bangkit menjadi bangsa yang jaya pada Millinium ke 3 ini Amien Ya Robbal `Alamien
Khoirun Mukri
Guru PAI SMP NU Karangdadap

Kamis, 02 Desember 2010

JIHAD adalah Berjuang Bukan Perang

Oleh : KH. Husein Muhammad
Sejak gedung World Trade Center Amerika Serikat, 11 September 2001,   hancur berkeping-keping, Jihad tiba-tiba mencuat kembali menjadi kosa kata paling populer di dunia abad ini. Pemerintah Amerika segera menerjemahkannya sebagai tindakan “terorisme”. Dengan langkah cepat mereka melakukan serangkaian pembalasan dengan melancarkan serangan dan pembunuhan atau ancaman pembunuhan ke wilayah-wilayah yang dianggap sebagai sarang teroris, antara lain Afghanistan dan beberapa negara di Timur Tengah. Mereka sangat yakin bahwa langkah tersebut dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat dunia dari gerakan kaum ‘teroris’. “Ini perang melawan Terorisme”, kata George W. Bush, Presiden Amerika itu, ketika itu. Tetapi mereka yang disebut teroris itu, justeru membalik pernyataan itu. “amirikalah biang teroris itu. Maka kosakata terorisme berhamburan bagai meteor dan tak jelas ke mana arahnya, begitu sporadis.
Jihad, bahasa Arab dan Terorisme, bahasa Inggris, selanjutnya menjadi kata-kata yang paling sulit didefinisikan. Apa sesungguhnya yang ada di balik terminologi-terminologi semiotis tersebut; perang agama atau benturan peradaban ?. Terlepas dari perdebatan mengenai ini, belakangan, begitu kedua kata itu disebut orang, maka yang segera muncul dalam kesadaran pikiran publik adalah gambaran tenrang bentuk-bentuk ancaman kekerasan fisik, pembunuhan, perang dan bom. Dan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sengaja menciptakan ketakutan-ketakutan dan acaman-ancaman kematian terhadap siapa saja yang dianggap lawan atau musuh. Sampai hari ini bom-bom itu masih terus meledak di banyak tempat di dunia terutama di Timur Tengah. Beberapa tahun lampau ia menggelegar di Bali dan beberapa tempat lainnya di Indonesia. Yang rmasih hangat adalah bom-bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Mariot. Bom-bom itu telah menelan ribuan korban manusia dan membunuh orang-orang yang bahkan sama sekali tidak mengerti apa-apa. Bangkai manusia yang remuk redam bergelimpangan di mana-mana. Darah merah, hitam, berceceran di jalan-jalan. Tindakan paling rumit dipahami adalah ketika bom-bom yang meledak tersebut dimaknai sebagai sebuah langkah kebenaran, kesucian dan dalam kerangka perjuangan demi menegakkan kemanusiaan. Di sini tampak ambiguitasnya kedua kata, jihad dan terorisme, tersebut, dan betapa manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sulit dimengerti ; “al Insan dzalika al Majhul”.
Kebingungan luar biasa lainnya adalah kesan yang merasuk dalam otak publik terhadap para pelaku Jihad. Penyebutan kata Jihad segera memunculkan bayangan orang-orang  yang berpakaian jubah putih, bersorban, atau orang yang berjenggot atau wajah bertopeng dan pedang panjang yang terhunus dan siap ditebaskan. Semuanya seperti penampilan khas orang Arab badawi atau orang-orang Afghanistan. Fenomena modern memunculkan bentuk lain dari pedang, yaitu bom di tangan atau didalam mobil yang siap diledakkan, seperti di Palestina atau di Irak atau di tempat lain. Personifikasinya yang paling menonjol dewasa ini ditampilkan oleh Osama bin Laden. Ia adalah ikon para “mujahidin” (diterjemahkan sebagai para pelaku jihad) abad ini. Lebih dari semuanya, oleh karena kata jihad banyak dijumpai dalam teks-teks suci kaum muslimin, bahkan dengan pekik takbir, Allah Akbar, maka secara praktis ia juga memiliki legitimasi agama dengan seluruh makna sakralitasnya. Dengan begitu tidaklah mengherankan jika Jihad pada gilirannya memiliki  makna yang sangat spesifik dan tunggal ; perang suci, holy war. Dari sinilah, maka jihad oleh para pelakunya diyakini sebagai tindakan yang sakral dan dalam rangka membela Tuhan. Para mujahidin  sangat meyakini bahwa tindakan tersebut akan memastikan mereka masuk surga sebagaimana dijanjikan Tuhan Yang Maha Benar, sebagai pengantin. Para pelaku bom Bali ke II sebagaimana yang sempat disaksikan publik melalui tayangan video dengan jelas menyatakan kematiannya sebagai “syahid”, martyr, sambil mengutip pernyataan al Qur-an; “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang berperang di jalan Tuhan sebagai orang-orang yang mati. Tidak, bahkan mereka hidup dan memperoleh anugerah dari Tuhan mereka”.(Q.S. Ali Imran, 169).
Terlepas dari kerumitan dan kebingungan yang luar biasa membaca dan memaknai fenomena Jihad dan Terorisme di atas, pertanyaan penting untuk diajukan adalah bagaimana sesungguhnya tafsir jihad dalam teks-teks Islam ?.

Jihad dalam Islam
Pemaknaan Jihad sebagai semata-mata “holy war” (perang suci), bagaimanapun merupakan sebuah reduksi terhadap arti kata tersebut, bahkan bisa menyesatkan. Al Qur-an menyebut kata jihad  dalam sejumlah ayat, kurang lebih 41 ayat yang tersebar dalam Mushaf al Qur-an dengan memperlihatkan makna yang tidak tunggal.  Secara bahasa (etimologi) ia berasal dari kata “juhd” atau “jahd”. Arti literalnya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang sangat melelahkan. Dari kata ini juga terbentuk kosa-kata“Ijtihad”. Tetapi yang terakhir ini lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan dan enguras energi otak Dalam terminologi sufisme juga dikenal istilah “mujahadah”, derivasi dari kata jahadaatau juhd. Ia adalah sebuah usaha spritual yang intens, bahkan pada orang-orang tertentu bisa mencapai tingkat ekstase, “syathahat”. Orang-orang yang berjuang di jalan Allah dengan sungguh-sungguh disebut“Mujahidin” (pl. mujahid).
Dalam terminology Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan. Pada umumnya tujuan  jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian. Menurut Fakhr al Din al Razi, jihad diarahkan untuk menolong agama Allah, tetapi bisa juga diartikan sebagai perjuangan memerangi musuh.(Tafsir al Kabir, V/39).

Pada sejumlah ayat, jihad mengandung makna yang sangat luas, meliputi perjuangan dalam seluruh aspek kehidupan. Jihad adalah pergulatan hidup itu sendiri. Bahkan terdapat sejumlah ayat jihad yang diarahkan terhadap orang-orang kafir, tetapi tidak bermakna memeranginya dengan senjata. Al Qur-an mengatakan : “Wa la Tuthi’ al Kafirin wa Jahidhum bihi Jihadan Kabira”(Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (al Qur-an) dengan jihad yang besar). (QS. Al Furqan, 52). Ayat ini termasuk Makiyyah (diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah). Kataganti pada “bihi”(dengannya) dalam ayat ini,  menurut Ibnu Abbas merujuk pada al Qur-an. Ini berarti :”berjihadlah dengan al Qur-an”. Dengan begitu perintah berjihad terhadap orang-orang kafir tidak dilakukan dengan menghunus  pedang, melainkan mengajak mereka dengan sungguh-sungguh agar memahami pesan-pesan yang terungkap atau terkandung di dalam al Qur-an. Jamal al Din al Qasimi, ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan : “Hadapi mereka dengan argumen-argumen rasional, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh”.(Mahasin al Ta’wil, XII/267). Dihubungkan dengan Q.S. al Nahl, 125, tentang dakwah (ajakan kepada Islam), maka, jihad diperintahkan dengan cara-cara ”hikmah (ilmu pengetahuan, pemikiran filosofis), tuturkata/nasehat/orasi yang baik dan santun serta melalui diskusi/debat. Sepanjang sejarah kehidupan Nabi di Makkah, beliau tidak pernah melakukan perang terhadap orang-orang kafir dan kaum musyrik, meski ayat ini secara eksplisit menyebutkannya. Terhadap tekanan-tekanan mereka terhadap nabi saw dan kaum muslimin, beliau justeru mengatakan : “Ishbiru fa inni lam u’mar bi al qital”(bersabarlah kalian, karena aku tidak diperintah untuk berperang).
Pada Q.S. Luqman, 15, terdapat juga kata jihad dengan arti bukan perang dengan kekuatan senjata ; “Wa in Jahadak ‘ala an Tusyrika bi ma laisa laka bihi ‘ilm fa la Tuthi’huma wa Shahib huma fi al Dunya Ma’rufa” (Dan jika keduanya ber ’jihad’ terhadapmu agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang  tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ‘ma’ruf’ (kebaikan sesuai tradisi). (baca juga Q.S. al ‘Ankabut, 8).
Jihad pada ayat ini jelas tidaklah berarti perang fisik. Ia diturunkan berkaitan dengan peristiwa masuk Islamnya seorang anak. Ibunya tidak rela dan menginginkan dia kembali kepada agama sebelumnya.  Si anak menolak. Ibu tetap saja tidakrela dan untuk itu ia protes keras dengan melakukan aksi mogok makan dan minum selama tiga hari. Si anak tetap saja tidak bergeser dari keyakinannya. Ia bahkan mengatakan : “Ibuku sayang, andaikata engkau mempunyai seratus orang yang memaksa aku untuk kembali (kepada agamamu) niscaya aku tidak akan melakukannya. Kalau ibu mau makan, silakan dan kalau tidak mau, juga silakan”. Mengomentari ayat ini Ibnu Katsir mengatakan : “Jika keduanya (ayah-ibu) sangat berkeinginan…”/in Harashaa ‘alaika Kulla al Hirsh. (Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, III/445). Pada Q.S. al ‘Ankabut ayat ; ‘jaahadaaka’ ditafsirkan oleh Ibnu Katsir di tempat yang lain dengan “Haradhaa ‘alaika”(keduanya mendesak kamu).
Penafsir al Qur-an paling klasik, Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), memperkenalkan tiga makna jihad. Pertama“jihad bi al Qawl” (perjuangan dengan kata-kata, ucapan, pikiran). Ini diungkapkan dalam al Qur-an surah al Furqan, 52 ; (wa Jahidhum bihi Jihadan kabira/dan berkerjakeraslah kamu dengan (melalui) nya dengan sesungguh-sungguhnya.) dan  dalam surah al Taubah, 73 ; (Ya Ayyuha al Ladzina Amanu Jahid al Kuffara wa al Munafiqin/hai orang-orang yang beriman bersungguh-sungguhlah kamu menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik) dan surah al Tahrim 9. Kedua, al Qital bi al Silah (perang dengan senjata). Ini dikemukakan dalam al Nisa, 15. Ketiga jihad bi al ‘amal (bekerja dan berusaha). Ini dikemukakan dalam surah al Ankabut, 6 : “Wa Man Jahada fa Innama Yujahidu li Nafsih (dan siapa yang berkerja dengan sungguh-sungguh maka sesungguhnya itu untuk dirinya sendiri), dan ayat 69 : “Wa alladzina Jahadu fina lanahdiyannahum subulana (dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan rida Kami, niscaya Kami beri mereka jalan (menuju) Kami), serta surah al Hajj, 78: “Wa Jahidu fillah Haqqa Jihadih”(dan bekerjalah dengan sungguh-sungguhnya semata-mata karena mengharap kerelaan Allah). (Muqatil ; Al Asybah wa al Nazhair fi al Qur-an al Karim,).
Pernyataan-pernyataan al Qur-an tentang Jihad mendapatkan elaborasi lebih faktual dari Nabi Muhammad saw. Jihad menurutnya  bisa berarti melakukan perjuangan untuk melawan egoisme yang ada dalam setiap diri manusia (jihad al nafs). Ini juga berarti  bahwa perjuangan untuk melawan kelemahan, kecongkakan, kesombongan, kerakusan dan selurun potensi yang dapat merusak diri sendiri dan atau merugikan orang lain, adalah juga jihad. Menurut Nabi jihad al nafs ini justeru merupakan jihad yang terbesar, sementara jihad dalam arti perang fisik adalah jihad kecil. Nabi saw usai perang fisik mengatakan kepada para sahabatnya ; “raja’na min al Jihad al ashghar ila al Jihad al Akbar”(kita kembali dari perjuangan kecil menuju perjuangan besar). Fakta-fakta sosial-politik-ekonomi dan budaya dalam segala zaman menunjukkan dengan jelas bahwa kesengsaraan, keterpurukan bangsa dan kezaliman yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sesungguhnya lebih disebabkan karena kerusakan mental manusia, moralitas yang rendah dan spiritualitas yang kosong. Dari sinilah, maka Jihad juga harus dilancarkan terhadap penguasa dan rezim yang tiranik, yang menindas rakyat. Caranya adalah melalui penegakan kebenaran dan keadilan. Nabi saw menyebut upaya-upaya ini sebagai jihad yang paling utama: “Afdhal al Jihad Kalimah Haq ‘ind Sulthan Jair”(Jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim).
Jihad dalam pengertian bekerja dengan sungguh-sungguh pernah disampaikan oleh Nabi saw kepada para sahabatnya. Ketika mereka berangkat perang (ghazwah), mereka melihat seorang muda yang kekar sedang bekerja di sawah. Melihat kekekaran (keperkasaan) tubuhnya, para sahabat berandai-andai jika saja dia dapat ikut perang bersama mereka. Nabi terusik dengan pengandaian (harapan) itu. Spontan beliau mengatakan :”Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama dengan Jihad fi sabilillah”. Jihad dengan arti yang sama juga berlaku bagi ibu-ibu yang bekerja untuk menghidupi, mengurus keluarganya dan bekerja sama saling menghargai antara dia dan suaminya. Nabi mengatakan : “Sampaikan kepada kaum perempuan yang kamu jumpai, bahwa ketaatannya kepada suami dan pengakuan atas hak-haknya adalah sama dengan jihad”.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al Qur-an mengandung makna  perjuangan moral, spiritual, intelektual, dan kerja keras untuk sebuah tanggungjawab kehidupan publik maupun domestik. Pada masa klasik Islam pemaknaan jihad seperti ini pernah sangat populer. Kebesaran, kemajuan dan kemenangan luar biasa yang pernah dicapai Islam justeru lahir dari semangat jihad dengan makna-makna terakhir ini. Para pemikir muslim post tradisional  juga memperkenalkan kembali makna jihad ini dalam tulisan-tulisan mereka.

Jihad adalah Berjuang, bukan Perang.

Meski terlampau popular, tetapi sulit bagi saya untuk memberi makna Jihad sebagai perang; sebuah tindakan melalui kekerasan fisik/militeristik dan dengan alat-alat yang dapat melukai tubuh atau bahkan membunuhnya. Al Qur’an sesungguhnya telah menyediakan kata lain untuk arti ini (perang). Yaitu “Qital”. Kata lain yang juga biasa digunakan bangsa Arab untuk arti perang fisik adalah harbsiyar dan ghazwah. Ada sejumlah ayat al Qur-an yang berbicara tentang perang terhadap orang-orang kafir, baik dengan kata jihad sendiri maupun dengan kata qital. Akan tetapi kata jihad yang digunakan dalam arti ini dikemukakan dalam rangka mengiringi peristiwa perang yang sudah dimulai atau sedang berlangsung. Dengan kata lain “jika perang terpaksa harus terjadi atau sudah dimulai maka berjihadlah kalian dengan seluruh kekuatan yang dimiliki jiwa raga dan finansial”. Artinya, maka lakukan perang itu dengan sungguh-sungguh dan seluruh kemampuan yang dimiliki. Jadi kata jihad dalam rangkaian seruan perang adalah sifat, atribut yang harus menyertainya.

Ayat al Qur-an yang menunjukkan makna yang dikesankan sebagai perang fisik antara lain : “Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui”.(QS. Al Taubah, 41,  atau surah al Tahrim, 9 dan lain-lain). Ayat ini juga jelas sekali menunjukkan arti bersungguh-sungguh atau berjuang semaksimal mungkin dengan mempersiapkan segala sesuatunya, segala alat yang diperlukan guna memenangkan peperang, dana, strategi, taktik dan lain-lain. Andaikatapun kalimat “berjihadlah kamu”, misalnya, diartikan “berperanglah kamu”, maka sebenarnya  hanyalah untuk mempersingkat bicara/kalimat saja, dengan menyebut sifatnya saja, dan itu, sekali lagi, dikatakan ketika perang sudah mulai atau sedang berlangsung. Tegasnya ia berarti “berjuang semaksimal mungkin dalam atau ketika kamu berperang”.  Jadi jika jihad diartikan perang, maka ia bukan arti hakikatnya, yang artinya sama dengan “qital” (perang, saling membunuh),bukan seperti itu. Maka sekali lagi, Jihad adalah berjuang dan bukan berarti perang.

Tetapi catatan paling penting dari segalanya adalah bahwa Islam tidak pernah menginisiasi Perang. Islam tidak pernah berinisiatif untuk memulai perang. Perang dalam Islam hanyalah dalam rangka mempertahankan diri dari serangan yang sudah diawali, diinisiasi oleh musuh/lawan politik. Dan jika sudah terjadi, maka yang dilawan adalah hanya orang-orang yang terlibat dalam perang saja. “Orang kafir”  yang tidak terlibat, orang-orang tua, anak-anak, tempat ibadah mereka, rumpt dan pepohonan, tidak boleh dibunuh atau dihancurkan.

Rabu, 24 November 2010

FADHILAH ZIARAH QUBUR & HAUL


Oleh : TB.AHMAD RIFQI CHOWASH
Ziarah artinya berkunjung dari zaaro yazuuru ziyaarotan.....baik ke orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Atau ke tempat yang diperintahkan Allah swt karena ibadah seperti karena berhaji atau 'umroh.

Agama islam menganjurkan kita berziarah qubur dengan 3 tujuan:

1. karena mengingat kematian.
Mengingat kematian memang dianjurkan oleh Agama kita karena dengan mengingatnya kita akan lebih senang kepada akhirat di banding di dunia dan supaya dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk hidup di kemudian hari.
mengingat kematian dapat dilakukan kapan saja di mana saja dan tidak harus dengan berziarah qubur sesuai dg perkataan Nabi saw:اكثروا من ذكر هادم اللذات...(perbanyaklah mengingat hal yg memutuskan kelezatan)hadits ini termasuk hadits shohieh yg masyhur.Bahkan Syekh Nawawi bin Umar Al Bantany dalam syarah Nashoih al 'ibad mengatakan:mengingat kematian dengan ziarah kubur dapat dilakukan maskipun kepada kuburan orang kafir sedangkan berdo'a untuk mereka yg kafir maka tidak diperbolehkan.
2.Karena kesunnahan dan anjuran Nabi saw.
Nabi kita Nabi mulia Muhammad saw menganjurkan kita menziarahi kuburan kerabat kita sesama muslim,apalagi orang tua kita sendiri seperti saudara,teman dan siapapun yang se agama dengan kita.
bahkan Nabi saw dan para shahabatnya selalu berziarah di kuburan para Syhada' uhud setiap haul(temu tahun)dan berziarah di Baqi' al Ghorqod setiap sore kamis.sesuai dengan keterangan yang berikut ini:
Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .

Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.

Diterangkan dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar juz 1 hal 604.


BOLEHKAH MEMBACA ALQUR'AN DI ATAS KUBURAN...?
Memang ada sekelompok orang yg mengatakan membaca Alqur'an di atas kuburan ketika berziarah itu amalan yg tidak dikenal para salaf dan bisa dikatakan bid'ah......pendapat ini salah dan tidak bertanggung jawab...!perhatikan perkataan imam Al hafidz Al Faqih An Nawawy di kitab Al Adzkar:
"dan disunnahkan bagi peziarah untuk memperbanyak membaca Alqur'an dan dzikir(tahlil,tasbieh dan tahmid)dan berdoa untuk Ahli kubur itu juga untuk para mayit dari seluruh orang orang islam. Disunnahkan pula memperbanyak berziarah dan berdiam diri(al wuquf)di disamping pekuburan AHL AL KHOIR WAL FADHL(ahli kebaikan dan keutamaan)"...Al Adzkar hal 152 cetakan Al hidayah.
dalam kitab yang sama(al adzkar)halaman 193 hamisy juz 4 kitab Al Futuhat al Robbaniyah,imam Nawawy berkata: Assyafi'ie ra dan para ashhabnya berkata:"di sunnahkan untuk membacakan Al qur'an di samping kuburan mayyit,maka apabila sampai mengkhatamkannya menjadi lebih baik. kami juga meriwayatkan di sunan AL Baihaqi dengan Isnad yang baik bahwa: Ibnu Umar menyukai untuk dibacakan di atas kuburan surat Albaqoroh dan khowatimnya(penutup2nya).
Dalam hadits lain disebutkan: bacakanlah Yasiin untuk orang orang yang mati dari kalian(hadits Shohieh riwayat Ibnu Hibban dan Abu Dawud)dan amal al yaumi wallailah hal 581,dan tidak ada keterangan dari lafadz Al Mauta itu apa orang yang mau mati apa orang yang sudah mati?maka mengartikan lafadz secara hakikat itu jauh lebih utama di bandingdiartikan dengan secara majaz.
juga ada sebuah hadits yg menerangkan fahoill surat al ikhlalsh:dari Ali bin Abi Tholib ra ia berkata:barangsiapa yg melewati kuburan kemudian membaca Qul HuaLLohu Ahad sebelas kali,kemudian dihadiahkan pahalanya untuk orang yg telah mati maka ia akan diberi pahala sebanyak bilangan orang yang mati(al Armiyuny)dan Ahmad bin Hanbal.
Syekh Muh. Amin Al kurdy dalam kitab tanwir al qulub hal 216 disebutkan:Bacaan al Qur'an itu bermanfaat bagi mayit dalam 3 tempat yaitu: 1.Bila dibacakan di hadapannya..2.Bila dibacakan dari jauh namun dia berdo'a untuk mayit tersebut setelahnya 3.Tidak berdo'a untuk mayit namun ditujukan untuk mayit tersebut.
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.
قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.

وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .

Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Ahad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”

BACAAN SELAIN ALQUR'AN UNTUK MAYIT.
Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :
اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ

Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323 dengn demikian jelaslah bahwa membaca Al Qur'an diatas kuburan itu hal yang di syari'atkan dan perilaku atau sunnah para salaf juga tidak ada ayat al qur'an ataupun hadits yang mengharamkannya jadi kita tidak boleh mengharamkan dan menambahi ajaran agama dengan melarang orang membaca Al qur'an dan dzikir di atas kuburan atau MENGHARAMKAN APA YANG DIBOLEHKAN AJARAN AGAMA.


3.KARENA BERTABARRUK(MENCARI KEBERKAHAN)
Kalau yang kita ziarahi itu kuburan para Nabi dan para Shalihien maka akan bernilai lebih bukan hanya akan dapat mengingat kematian dan sunnah semata namun lebih dari itu,yaitu keberkahan yang akan didapat dari si peziarah itu seperti apa yang dikatakan AL IMAM ABUL FAROJ IBNUL JAUZY AL HANBALY dalam kitab manaqib Ma'ruf al karkhy HAL 200 juga tarikh Baghdad hal 122 juz 1,bahwa beliau menukil dari gurunya Ibrohim al harby dan beiau adalah termasuk imam salaf yg menyerupai imam Ahmad bin Hanbal dalam ke zuhudan dan wara'nya beliau berkata:Kuburan Ma'ruf Al karkhy adalah OBAT PENAWAR YANG AMPUH.
Begitu juga halnya dengan Imam Assyafi'ie rabeliau berkata:setiap kali aku ada kesulitan maka aku shalat dua rakaat dan berziarah di kuburan imam Abu hanifah,lalu hajatku terkabul berkat aku berziarah kepadanya.(manaqib Imam Syafi'ie)
Apalagi bila yang kita ziarahi itu baginda Nabi saw,yang menjadi juru syafa'at ummat ini sudah barang tentu tak dapat diragukan lg akan KEBERKAHANNYA. Dalam hal ini al imam Al Hafidz Assyekh Imaduddin ibn Katsir berkata: segolongan Ulama menuturkan sebuah cerita,diantaranya adalah Syaikh Abu Manshur al Shobbagh di dalam kitabnya Al Syamil dari al 'utby dia berkata: ketika aku duduk disamping kuburan Nabi saw,ada seorang arab kampung datang berkata: Assalaamu 'alaika yaa Rasuulallaah......aku mendengar firman Allah :walau annahum.........dst,oleh karena itu aku mendatangimu sbg orang yang memohon ampun dan memohon syafa'at melaluimu kepada Tuhanku kemudian dia mambaca syair:
يا خير من دفنت بالقاع اعظمه# فطاب من طيبهن القاع والاكم
نفسي الفداء لقبر انت ساكنه # فيه العفاف وفيه الجود والكرم.....
Artinya: wahai orang yg terbaik dari jasad yang terkubur di dataran tanah.....
Maka dataran dan pegunungan menjadi wangi karena semerbak dataran itu......
Nyawaku menjadi tebusan bagi haribaan yg kau huni.....
Yg di dalamnya terdapat keapikan, kedermawanan dan kemuliaan....
.........kemudian orang tersebut berpaling,lalu aku tertidur dan bermimpi bertemu Nabi saw......beliau berkata:temuilah orang kampung tadi dan berilah dia khabar gembira bahwa Allah swt telah mengampuninya....
kisah ini disebutkan imam Nawawi ra di kitab al idhoh hal 498. Al Hafidz ibnu katsir juga meriwatkan di tafsirnya yg terkenal.....ibnu qudamah dalam al mughni juz 3 hal 490,kasyful qina' kitab fiqh madzhab Hanbaly hal 30 juz 3.

Al hafidz Abu bakar Al Baihaqi juga al hafidz ibnu Abi Syaibah dan al hafidz ibnu katsir meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih juga dikomentari oleh al hafidz ibnu hajar di kitab fath al bari syarah shahih al Bukhary juz 2 hal 415 bahwa memang hadits tersebut shahih yaitu:
Pada zaman khilafah Umar bin Al Khotthob ra terjadi kemarau yg menimpa orang orang,kemudian ada seorang laki laki yang mendatangi kuburan Nabi saw dan dia berkata:
يا رسول الله.....استسق لامتك فانهم قد هلكوا ...فاتاه رسول الله في المنام فقال :ائت عمر فاقرئه مني السلام واخبرهم انهم مسقون ،وقل له عليك بالكيس الكيس........
Wahai Rasulullah mohon hujan lah(kepada Allah) untuk ummatmu karena mereka akan binasa.........kemudian Nabi saw mendatanginya di dalam tidur(mimpi) beliau berkata: datangilah umar dan sampaikan salam dariku katakan kepada mereka bahwa mereka akan disirami hujan.
Dan hendaknya kamu mendahulukan orang yang pandai......
Dalam kitab fath al bary disebutkan bahwa laki laki yang datang ke kuburan Nabi saw dan bermimpi tersebut adalah Bilal bin al harits al Muzanny ra salah seorang shahabat Nabi saw yang masyhur.
WALLAHU 'ALAM BISSHOWAAB.
RUJUKAN:
1.AL ADZKAR ANNAWAWIYAH
2.MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH.
3TANWIRUL QULUB.
4.AL FUTUHAT AL ROBBANIYAH.
5.FADHAIH AL WAHHABIYAH.
5.DHIYA' ASSHUDUR.
6.DAN LAIN LAIN.....

Rabu, 17 November 2010

Bid`ah Dimulai Sejak Zaman Rosulullah SAW

ADA beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya.
Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa- doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji -pujian yang disusun oleh para ulama dan orang  orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
(Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")

Kamis, 11 November 2010

Presiden dan Agama


Oleh Abdurrahman Wahid
BEBERAPA tahun yang lalu saya berada dalam sebuah seminar di Universitas Monash, Australia. Pokok pembicaraannya adalah "Perkembangan Politik di Indonesia". Ada pertanyaan dari peserta: "Mungkinkah seorang yang tidak beragama Islam menjadi presiden di Indonesia?" Penulis menjawab, kalau dilihat dari bunyi Undang-Undang Dasar '45 hal itu dapat saja terjadi.
Jawaban ini menimbulkan berbagai macam reaksi. Karena jawaban ini, ada yang menuduh penulis telah berkoalisi dengan Benny Moerdani dan mencalonkannya sebagai Presiden RI. Lebih dari itu bahkan ada yang menuduh penulis sebagai antek orang-orang non-Muslim. Sementara di sisi lain, mereka yang tulus pada UUD '45 melihat jawaban ini sebagai hal biasa.
Sebagaimana tertulis dalam UUD '45 yang memungkinkan adanya seorang non-Muslim menjadi presiden di belakang hari, karena Undang-Undang Dasar kita memang tidak pernah mempersoalkan agama seorang calon presiden. Sama halnya dengan Presiden John F Kennedy dari Amerika Serikat yang tidak beragama mayoritas di Amerika Serikat yaitu agama Kristen Protestan. Atau sebagaimana suara beberapa waktu yang lalu agar Colin Powell yang berkulit hitam itu menjadi presiden dari bangsa yang mayoritas berkulit putih. Dalam hal ini berlaku kenyataan, yang terpenting adalah bunyi undang-undangnya bukan sentimen yang terkandung dalam undang-undang itu.
Bagaimana halnya dengan negara kita? Jelas terjadi kemauan berbeda ketika membuat UUD '45. Dalam sejarahnya ada yang menginginkan UUD '45 berdasarkan agama, ada juga yang ingin mendirikan negara sekuler. Yang belakangan ini lebih sesuai dengan kenyataan, karena sebagian penduduk Indonesia hanya Islam dalam namanya saja. Mereka dilahirkan, dikhitan, dikawinkan dan dimakamkan dengan cara Islam. Selebihnya mereka tidak tahu apa-apa tentang Islam.
Walaupun demikian, mereka tidak mau disebut Islamnya kurang dari orang-orang yang sering pergi ke masjid, atau yang mengalami pendidikan agama (secara formal) lebih banyak. Mereka juga sama-sama merasakan keislaman yang intens, seperti halnya orang-orang yang memperoleh pendidikanagama cukup dan menjalankan syariah formal keislaman. Buktinya, mereka akan marah kalau dianggap sebagai bukan Muslim dan perasaan mereka akan tersinggung jika Islam disinggung dan dilecehkan. Jangan dikira ribuan orang yang mati mempertahankan keberadaan agama Islam di Indonesia adalah mereka yang mengerti sepenuhnya arti agama tersebut dalam kehidupan. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa untuk sesuatu yang tidak mereka mengerti, melainkan hanya mempertahankan nama belaka. 
Hal seperti ini juga terjadi di Irlandia, di mana orang-orang Katolik melakukan teror terhadap orang-orang Protestan, hanya karena sejarah yang mengarahkan mereka demikian. Bahkan dapat dipastikan orang Katolik saleh yang pergi ke gereja tiap Minggu tidak akan melakukan hal itu. Agama bagi mereka tidak identik dengan kekerasan.
***
DI sinilah letak penting dari hubungan antara agama dan negara. Mungkinkah agama memotivasikan orang untuk menampilkan kekerasan guna memperjuangkan cita-cita? Jawabnya mungkin saja. Orang-orang seperti SM Kartosuwirjo dapat berbuat demikian. Baginya, tidak penting mayoritas bangsa dapat menerima pikiran-pikirannya atau tidak, yang penting instrumen negara berada di tangan, dan dengan demikian secara
formal pejabat-pejabat negara berada di tangan, dan dengan demikian secara formal para pejabat negara berada di tangan orang-orang yang berasal dari agama Islam.
Ini yang membedakan dari Amerika Serikat maupun Indonesia yang berdasar UUD '45. Terlepas dari kemungkinan hal itu dapat terjadi secara historis atau tidak. Dengan menggunakan kata lain, di negeri kita atau di AS setiap orang dapat menjadi presiden. Dia dapat saja menunjuk menteri-menteri dari agama mana pun yang dikehendakinya. Inilah sebabnya di negeri kita selamanya ada menteri yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan sebagainya.
Hal ini terjadi karena undang-undang yang ada memungkinkan hal itu, di samping itu juga untuk menampung jumlah mereka yang besar ataupun mengingat peranan kesejarahan mereka dalam membentuk negara bangsa Indonesia. Ini artinya kaum agama lain tidak tertinggal dalam perang merebut kemerdekaan. Dengan demikian mempertentangkan antara agama seseorang dengan suatu jabatan tertentu, lebih-lebih jabatan kepresidenan merupakan sesuatu hal yang naif, karena di samping bertentangan dengan Undang-Undang Dasar juga dapat melukai hati rakyat.
Sejarah telah memberikan corak yang lain terhadap kemerdekaan kita, yang harus dihormati oleh bangsa kita yang ingin maju. Kalau pikiran ini diterus-teruskan bukan tidak mungkin kita juga akan memberikan kedudukan kunci seperti Mendagri atau Menteri Keuangan kepada golongan minoritas seperti yang telah terjadi di Indonesia. Bukankah hal seperti ini telah terjadi di negeri Irak dengan Menteri Luar Negeri Thareq Azis yang beragama Kristen dan sekarang menjadi perdana menteri?
Berbagai kemungkinan ini yang terbayang di mata kita ketika membandingkan UUD '45 dengan UUD Irak. Ketika para pemimpin gerakan Islam seperti A Wahid Hasyim, menyetujui UUD '45 terlepas dari janji-janji lisan yang merupakan konvensi dan konsensus nasional, yang jelas redaksi UUD '45 memungkinkan munculnya aspirasi-aspirasi nonkeagamaan dalam perkembangan UUD itu sendiri. Ini kalau persoalannya kita serahkan kepada para ahli hukum yang berkecimpung dalam Mahkamah Agung.
***
INILAH yang membuat mengapa saya sebagai Ketua Umum PBNU memberikan jawaban sesuai dengan bunyi UUD '45 dalam seminar di Monash tersebut, saya memandang jauh ke depan dan tidak mau terikat dengan konvensi maupun janji-janji lisan. Bagi saya yang terpenting adalah kenyataan tertulis yang pada hakikatnya merupakan cermin dari komitmen bersama yang telah disepakati. Praktiskah saya, atau seorang yang berkhianat dari konvensi dan janji-janji lisan? Saya tidak ambil pusing karena bagaimanapun juga kita harus berpegang pada produk tertulis dalam kehidupan bernegara. Konvensi dan janji-janji lisan hampir tidak punya arti bagi pengendali organisasi yang tiap tindakannya memiliki akibat jauh ke depan. 
Inilah yang menjadi dasar jawaban penulis atas berbagai tanggapan dan asumsi masyarakat mengenai jawaban saya yang memperbolehkan seorang non-Muslim menjadi presiden di negeri ini. Ungkapan di atas
memang berasal dari penulis dan disadari sepenuhnya ketika diucapkan. Dengan kata lain ucapan itu harus diterima sebagaimana adanya. Upaya untuk menguranginya adalah sesuatu yang mengandung kepicikan pandangan yang tidak lain dalam jangka panjang akan menimbulkan kesulitan-kesulitan. Inilah suka duka kita sebagai bangsa. Daripada kita berdebat tentang tafsir suatu undang-undang demi memperjuangkan kepentingan sendiri, akan lebih baik kalau kita berlatih mendisiplinkan diri untuk taat pada undang-undang itu. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Di negara maju ini masyarakat mencoba konsisten dan mendisiplinkan diri pada peraturan perundang-undangan. Alangkah naifnya jika kita masih terus sibuk merekayasa sebuah undang-undang dengan dalih demi menegakkan undang-undang, padahal yang sebenarnya hanya sekadar menyembunyikan kepentingan politik suatu golongan tertentu. Hingga akhirnya timbul banyak kerancuan; ungkapan yang benar dianggap salah tafsir, sedangkan yang sebaliknya dianggap kebenaran.
Pada kecenderungan ini pun dapat ditambahkan upaya untuk menyalahartikan ucapan yang tidak dimaksudkan oleh pengucapnya, melainkan oleh penafsirnya dianggap sebagai kesalahan ucap. Ketika penulis menyampaikan bahwa ada menteri Kabinet Reformasi yang terlibat dalam pembunuhan "tukang santet" di Jawa Timur banyak yang beranggapan bahwa ini salah tafsir. Padahal hal ini penulis sampaikan karena adanya beberapa laporan dari bawah. Tetapi ini tidaklah penting, karena sejarah akan membuktikan sendiri.
Untuk kembali pada pokok persoalan, yang penting adalah adanya teks tertulis dari undang-undang yang harus dipegang bersama. Warga negara tidak boleh menggunakan tafsiran berdasarkan apa yang mereka ingat, melainkan berdasarkan apa yang mereka baca. Ini penting sekali untuk memberikan penjelasan kepada teks undang-undang dasar. Sebuah sikap yang berbeda akan mengaburkan perbedaan pandangan jika tanpa didasari pada suatu yang jelas.
Kenyataan di atas inilah yang harus kita pegang, jangan sampai kita mengulangi hal yang sama, dilihat dari segala sudut gerakan Islam formalis berada pada posisi lemah. Baik keuangan, administratif maupun yang lainnya. Di samping itu mayoritas kehendak umat Islam yang cenderung kultural, tidak memandang formalisme Islam. Mereka justru lebih tertarik pada isu-isu kemanusiaan, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan penguatan ekonomi rakyat. Dengan demikian formalisme Islam akan mendapat tantangan yang serius bahkan dari kalangan Islam sendiri. Inilah yang perlu kita renungkan lebih jauh dalam kehidupan berbangsa kita saat ini.
* KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU, pengamat sosial-politik