Jumat, 29 Oktober 2010

Cahaya Untaian Mutiara

Oleh : Sekretaris MWC NU Karangdadap (Abu Amjada)


PratinjauKegiatan Korcam (Karangdadap) Yayasan Cahaya Untaian Mutiara  yang dimotori oleh IPNU-IPPNU Anak Cabang Karangdadap menggelar Silaturrohim / Halal Bi Halal Jama`ah Sholawat Simtudduror se Kecamatan Karangdadap bertempat di PendopoKecamatan Karangdadap pada hari Jum`at Kliwon tanggal  21 Dzulqo`dah 1431 H./ 29 Oktober 2010, acara berjalan dengan penuh hitmad, tertib, lancar dan tak henti hentinya alunan merdu Sholawat dan suara rebana yang kompak nan apik menambah suasana bahagia dan riang gembira karena Ruh Kanjeng Nabi Muhammad SAW  hadir di tengah tegah mereka.
Hadir dalam acara itu Bp Budi Suswantoro, BA (camat Karangdadap), Bp Somadi (Sekcam Karangdadap) dan 3 orang lainya dari pegawai kecamatan, Bp.H.Asror Abd Rozaq (Ketua Tanfidziyah) dan 3 orang lainya dari unsur MWCNU Karangdadap, Pengurus Yayasan Cahaya Untaian Mutiara Habib Ahmad Assegaf,  Tobagus Surur, M.Ag (Ketua), dan M Abdul Aziz, M.Ag. Acara dibuka oleh Ahmad Baihaqi (Ketua IPNU) pada jam 20.45 WIB.dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Simtudduror dan Rebana s/d jam 22.45 WIB.
Setelah pembacaan Maulid Simtudduror dan Rebana selesai dilanjutkan sambutan, sambutan pertama oleh Camat Karangdadap (Budi Suswantoro, BA) beliau mengajak kepada seluruh masyarakat kecamatan Karangdadap wabil khusus generasi muda NU (IPNU-IPPNU) dan seluruh jama`ah Simtudduror se Karangdadap agar dalam pesta demokrasi mendatang (PEMILUKADA 2011) ikut mensuksekanya dengan cara membantu dan bekerjasama dengan semua komponen yang ada baik PPK, PPS, KPPS, Panwas, PPL dll.agar tercipta suasana demokrasi yang baik dan tidak menimbulkan ekses yang buruk, Sambutan kedua dari MWC NU Karangdadap, MWCNU Karangdadap disamping menguatkan apa yang menjadi harapan pak camat, juga memyampaikan program program MWC NU, diantaranya penambahan bangunan "Dapur" sebagai tempat penyimpanan alat alat konsumsi dan MCK kantor sekretariat, juga menyampaikan program unggulan MWC NU yang salah satunya adalah tentang penguatan organisasi melalui PPOB (pembayaran rekening listrik online Bank) yang sampai detik ini baru mencapai 1.500 s/d 1.700 an pelanggan. sambutan terakhir oleh  Tobagus Surur, M.Ag (Ketua Yayasan Cahaya Untaian Mutiara Kab. dan Kota Pekalongan) beliau sangat berharap tumbuh kembangnya jama`ah simtudduror  di desa desa kab dan kota Pekalongan, sehingga sebisa mungkin disetiap dukuh/kaum ada jama`ah simtudduror, hal ini dikandung maksud agar generasi muda tidak ikut ikutan dalam kesenian kesenian yang tidak karuan yang jelas jelas bertentangan dengan ajaran Islam Ala Ahlussunah Wal Jama`ah, beliau juga menyampaikan pesan Ndoro Habib Muhammad  Luthfi bin Yahya bin Hasyim (sebagai Pimpinan tertinggi Yayasan) tentang perlunya generasi muda untuk selalu memupuk rasa kebangsaan yang tinggi sebagai bangsa Indonesia (sebenarnya pesan ini sudah disampaikan saat Peringatan Sumpah Pemuda di seretariat yayasan) beliau hanya mengingatkan kembali perlunya rasa kebangsaan dan Nasionalisme yang tinggi dan menghormati para pahlawanya, pesanya Ndoro Habib " Mohon seluruh jama`ah Maulid dan masyarakat Nahdliyyin Kab dan kota Pekalongan agar besok pada tanggal 9 Nofember 2010 jam 15.00 WIB berangkat dan Dzikir bersama di Makam Pahlawan (Kabupaten di Makam Pahlawan Bojong, dan Kota di Makam Pahlawan  Panjang baru) " dan Alhamdulillah pada saat itu juga Bp.Camat Karangdadap menyanggupi akomodasi / transportasi bagi jama`ah simtudduror dan masyarakat karangdadap yang akan ikut berdzikir dimakam pahlawan Bojong.
Setelah sambutan sambutan selesai lanjutkan dengan ramah tamah (makan bersama) hingga jam 00.30

Kamis, 28 Oktober 2010

Biografi Gus Dur…Bapak Demokrasi-Pluralisme

oleh NUsantaraku

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002.Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus  mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah  organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran.  Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU

Pada awal  1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto.  Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Gus Dur

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi  referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.  Pendekatan yang lebih lembut terhadap Acehdilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.  Netralisasi  Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia.  Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara.  Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
  • Pertama :  Akan selalu berpihak pada yang lemah.
  • Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
  • Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi  dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
  • Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
  • Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
  • Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
  • Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
  • Pejuang Kebebasan Pers
Selamat Jalan Gus Dur
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur
Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.
Salam hormat dan turut berbela sungkawa,

Rabu, 27 Oktober 2010

Kekelompoan Jahiliyah

Oleh : K.H.A Mustofa Bisri
Seperti diketahui, sebelum kedatangan Islam, khususnya masyarakat Arab sangat terkenal dengan budaya pengelompokan kabilah, klan, suku, dengan tingkat fanatisme yang luar biasa. Masing-masing mereka tidak hanya suka membanggakan kelompok sendiri, tapi sering kali sambil merendahkan kelompok yang lain. Sedemikian fanatiknya masing-masing mereka terhadap kelompok sendiri, seolah-olah mereka punya ‘akidah’: Kelompok sendiri selalu benar dan harus dibela mati-matian sampai mati. Inilah yang disebut ‘Ashabiyah. Terjadinya banyak peperangan dan pertumpahan darah di antara mereka, umumnya diakibatkan oleh ‘ashabiyah atau fanatisme kelompok ini.
Persoalan sepele bisa menjadi api penyulut peperangan besar apabila itu menyangkut kehormatan atau kepentingan kelompok. Pertengkaran pribadi antar kelompok dapat dengan cepat membakar emosi seluruh anggota masing-masing kelompok oleh apa yang disebut-kecam nabi Muhammad s.a.w. dengan Da’wa ‘l-jahiliyyah, masing-masing pihak yang bertengkar memanggil-manggil meminta bantuan kelompoknya. Dan pertengkaran pribadi pun menjadi peperangan antar kelompok.

Itulah salah satu ‘kegelapan’ Jahiliyah yang diperjuangkan Rasulullah s.a.w. untuk dikuakkan oleh cahaya Islam.

Nabi Muhammad s.a.w., Nabi Kasih sayang yang membawa agama kasih sayang, memperkenalkan kehidupan kemanusiaan yang mulia. Nabi mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari bapak yang satu yaitu Adam. Tak ada seorang atau sekelompok pun manusia yang lebih mulia dari yang lain. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non Arab. Kulit putih tidak lebih mulia dari kulit hitam. Yang termulia di antara mereka di hadapan Allah adalah yang paling takwa kepadanya.

Mereka yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah berarti dia telah masuk Islam dan disebut muslim. Dan muslim satu dengan yang lain – menurut Nabi Muhammad s.a.w. – bersaudara; tidak boleh saling menghina, tidak boleh saling menjengkelkan, tidak boleh saling melukai. Masing-masing harus menjaga nyawa, kehormatan, dan harta saudaranya. Muslim satu dengan yang lain ibarat satu tubuh atau satu bangunan.

Demikianlah; panutan agung semua orang yang mengaku muslim, Nabi Muhammad s.a.w., mempersaudarakan umat Islam di Madinah antara mereka yang berasal dari suku-suku asli Madinah (Kelompok Ansor dari suku Khazraj dan Aus) dan para pendatang dari Mekkah (Kelompok Muhajirin dari berbagai suku) dan mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Madinah yang non muslim. Dan dengan demikian kedegilan ‘ashabiyah Jahiliyah yang selama ini berakar kuat pun sirna, digantikan oleh kearifan akal budi kemanusiaan yang mulia.

Memang adakalanya penyakit ‘ashabiyah itu nyaris muncul lagi, namun kebijaksanaan Rasulullah s.a.w. segera menangkalnya sejak gejalanya yang paling dini; seperti peristiwa yang terjadi setelah perang Bani Musthaliq pada tahun kelima hijrah.
Waktu itu, seorang buruh yang bekerja pada shahabat Umar Ibn Khatthab (dari Muhajirin) berkelahi dan memukul seorang sobat suku Khazraj. Orang ini pun berteriak memanggil-manggil dan meminta bantuan kelompok Khazraj; sementara si buruh pun berteriak-teriak meminta bantuan kaum muhajirin. Hampir saja terjadi tawuran antara kedua kelompok itu. Untung, Rasulullah segera keluar, sabdanya : “Maa baalu da’waa ‘l-Jahiliyah?” (“Lho mengapa ada seruan model Jahiliyah?”). Ketika diberitahu duduk perkaranya, Rasulullah s.a.w. pun bersabda: “Tinggalkan perilaku Jahiliyah itu! Itu busuk baunya!” Rasulullah pun meleraikan mereka dengan adil. Dan malapetaka pun terhindarkan.

Fanatisme, terutama dalam pengertiannya yang ektrem, memang sering menghilangkan penalaran sehat; sebab memang emosi yang lebih berkuasa. Puncaknya – apabila emosi sudah sangat menguasai -- orang yang bersangkutan pun tidak mampu lagi melihat dan mendengar, shummum bukmun ‘umyun. Itulah barangkali sebabnya, orang yang terlalu fanatik terhadap kelompoknya, tidak bisa bersikap obyektif dan cenderung tidak bisa diajak bicara oleh kelompok yang lain.

Di negeri kita yang bukan Arab, khususnya di zaman pasca orde baru ini, penyakit semacam ‘ashabiyah Jahiliyah itu rupanya juga mulai mewabah. Bukan kelompok suku dan agama saja yang difanatiki berlebihan, bahkan kelompok politik pun sudah cenderung difanatiki melebihi agama. Lebih celaka lagi – agaknya karena pemahaman soal politik dan demokrasi yang masih cingkrang di satu pihak, dan pemahaman atau penghayatan agama yang dangkal di lain pihak – fanatisme kelompok politik ini membawa-bawa agama. Maka campur-aduklah antara kepentingan agama, kepentingan politik dan nafsu. Tidak jelas lagi apakah kepentingan politik mendukung agama; atau agama mendukung kepentingan politik; ataukah justru politik dan agama mendukung nafsu. Bahkan banyak mubalig atau da’i – yang seharusnya meneruskan missi kasih sayang Rasulullah s.a.w. – entah sadar atau tidak, justru lebih mirip jurkam atau malah provokator yang tidak merasa risi mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat dibenci oleh Nabi mereka sendiri.

Itu semua ditambah kita ini sejak zaman kerajaan; zaman penjajahan; zaman orla; hingga zaman orba; tidak dididik untuk dapat berbeda, sebagai pelajaran awal berdemokrasi. Malah didikan yang kita terima terus-menerus adalah keharusan seragam. Akibatnya, ketika ‘euforia demokrasi’ marak mengiringi tumbangnya rezim Soeharto yang otoriter, orang hanya berpikir mendirikan partai tanpa sempat memikirkan kaitannya partai dengan kehidupan berdemokrasi yang menuntut sikap menghargai perbedaan. ‘Ashabiyah Jahiliyah pun menemukan bentuknya yang lebih busuk bahkan di kalangan kaum beragama.

Kalau ini tidak cepat disadari khususnya oleh para pemimpin, umumnya oleh para pendukung kelompok atau partai, minimal mereka yang masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka dan Sayyidina Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan pemimpin agung mereka, saya khawatir memang azablah yang sedang menimpa kita. Dan azab itu hanya Allah yang kuasa menimpakan dan menghilangkannya. “Qul Hual Qaadiru ‘alaa ‘an yab’atsa ‘alaikum ‘azaaban …” (Q.6: 65) “Katakanlah (Muhammad,) ‘Dialah yang berkuasa mengirimkan azab dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok (fanatik yang saling bertentangan) dan mencicipkan kepada sebahagian kalian keganasan sebahagian yang lain …’”

Mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada kita semua untuk kembali ke jalanNya yang lurus, mengikuti jejak RasulNya yang berbudi dan mulia. Amin. 

Selasa, 26 Oktober 2010

Penjelasan Sahabat Umar Tentang Bid'ah yang Baik
31/08/2010
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan itu diperintahkan berdasarkan sabda Nabi SAW:

 عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه البخاري

Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu(HR. Al-Bukhari)
Nabi SAW melakukan shalat itu di rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam saja. Dalam hadit yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim, 

عن عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس, ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم, فلما أصبح قال: رأيت الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان. رواه البخارى) 

bahwa Nabi SAW pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang-orang banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi Nabi SAW tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.
Dari uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan ada dua macam:
a. Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
b. Shalat di masjid berjama’ah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat shalat Nabi Muhammad Saw itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.
Sebagian ahli fiqh mengatakan, “Kemungkinan Nabi Muhammad Saw dan para shahabatnya menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing”. Namun kemungkinan semacam ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.

Anjuran Umar ra.
Khalifah Umar bin Khottob r.a  masuk ke masjid, lalu melihat para shahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina Umar r.a berkata, “Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu pandangan tentu lebih baik”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka di bawah Imam Ubay bin Ka’ab.
Setelah dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka dimana mereka tidur lebih baik daripada malam dimana mereka shalat, yakni akhir malam sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (Riwayat al-Bukhari).
Maksudnya dinamakan bid’ah itu karena  bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya – bahkan bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam berjama’ah beberapa malam. 
Maka anjuran Umar ra adalah perintah kepada publik umat untuk shalat malam Ramadhan di masjid secara berjama’ah pada awal malam. Ibnu al-Tin dan lainnya berkata, “Umar menetapkan hukum itu dari pengakuan Nabi Saw terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka.
Tetapi setelah Nabi Saw wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.

KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU

Minggu, 24 Oktober 2010

Tradisi dan Budaya


Landasan Dasar Tradisi
Salah satu ciri dasar dari Ahlussunah Wal Jama`ah adalah sikap Moderat (tawassuth)  sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada prilaku keagamaan yang Ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan Budaya, karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kwalitas hidupnya. oleh karena itu salah satu karakter dasar dari setiap budaya perubahan yang terus menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. dan karena diciptakan oleh manusia maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.

Menghadapi tradisi / budaya, ajaran Ahlussunah Wal Jama`ah mengacu pada kaidah fiqhiyyah المُحَافَضَة عَلَى القَدِيد الصّالح وَ الأحد بِا لجديد الأصلح artinya : "memprertahankan kebaikan warisan pada masa yang laludan mengreasi hal yang baru ysng lebih baik" kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. seseorang harus bisa mengreasi hasil hasil kebaikan yang dibuat orang orang terdahulu (tradisi yang ada) dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau menciptakan tradisi baru yang lebih baik. sikap seperti ini memicu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya
Oleh karena itu kaum Ahlussunah Wal Jama`ah tidak apriori terhadap tradisi, bahkan fiqih aswaja menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan  sebuah hukum, hal ini tercermin dalam salah satu Koidah fiqih " Al Adatu muhakkamatun " artinya adat / tradisi menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum.
Sikap tidak apriori terhadap tradisi memungkinkan kaum Aswaja bertindak selektif terhadap tradisi. sikap ini penting untuk menghindarkan diri dari sefat keberagaman yang destruktif terhadap tradisi setempat. sikap selektif kaum aswaja ini mengacu kepada salah satu kaidah fiqih " Ma la Yudroku kulluhu la yadruku kulluh " artinya jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, maka tidak harus ditinggal semua
Sikap terhadap Tradisi
Pertanyaan penting yang perlu dijawab dibagian ini adalah " Bagaimana menggunakan kaidah kaidah Fiqih dalam menyikapi tradisi ?" banyak orang yang mempertentangkan antara budaya dengan agama. 
hal ini karena agama berasal dari Allah yang bersifat sakral (ukhrowi) sedangkan budaya adalah kreasi manusia yang bersifat Profan (duniawi) akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dipisahkan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikan.
Ahlussunah Wal Jama`ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara Proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia , baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini berlaku kaidah " المُحَافَضَة عَلَى القَدِيد الصّالح وَ الأحد بِا لجديد الأصلح artinya : "Melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik" 
Dengan memggunakan kaidah ini, pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah mempunyai pegangan dalam menyikapi tradisi. yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan maka bisa diterima, bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak diikuti. ini sebagaimana kaidah fiqih العادة محكّمـة " Al `Adatu Muhakkamatun " bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum
Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dialog kreratif dengan budaya yang ada, dengan dialog bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing masing. dari proses ini memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsur unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.
Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun didalamnya mungkin menyimpan butir butir kebaikan. menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsur unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsur unsur lain agar sesuai dengan Islam. inilah makna kaidah fiqih " Ma La Yadruku kulluhu, La Yutroku kulluhu"
Contoh dalam hal ini adalah Slametan atau Kondangan atau Kendurinan yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. jika kelompok lain memandang Slametan / Kenduren sebagai bid`ah yang harus dihilangkan, kaum Ahlussunah Wal Jama`ah memandang secara proporsional. Yaitu bahwa didalam acara Slametan ada unsur unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal hal yang dilarang agama. unsur kebaikan dalam Slametan antara lain : Merekatkan persatuan dan kerukunan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo`akan orang yang sudah meninggal dunia. semua ini tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada alasan untuk melenyapkanya sekalipun tidak pernah di praktekan oleh Nabi Muhammad SAW. sementara hal hal yang bertentangan dengan ajaran Islam - misalnya Sesaji untuk mahluk halus bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan pelan dengan penuh kearifan.


Pembacaan "Manaqib Syeh Abd Qodir Al Jailani" Yasinan dan Tahlilan
yang dilakukan sebelum "Nduduk" tanah yang akan dibangun sebuah bangunan, adalah salah satu contoh tradisi orang Jawa kuno yang senantiasa dilakukan oleh kaum Ahlussunah Wal Jama`ah


Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman yang jelas. dan dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad SAW sebagai panutanya, satu misal, Haji adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan Ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran Syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para shahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum Sunni / Ahlussunah Wal Jama`ah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum Sunni/Ahlussunah Wal Jama`ah sangat berbeda dengan kaum Non-Sunni. kaum sunni/Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dakwah dengan cara yang arif. Pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah tidak melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai  " sesat ". Jika saat ini banyak kita temua cara cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumpuran darah, hal itu sama sekali tidak sesuai dengan tuntunan dan kaidah Ahlussunah Wal Jama`ah.
Cara dakwah dengan kekerasan dengan menyalahkan dan mengkafir kafirkan serta memusrikan orang lain dapat kita temui diakhir akhir ini, baik lewat tindakan nyata maupun lewat tulisan tulisan (buku maupun di dunia maya). Adapun para pengikut Ahlussunah Wal Jama`ah melakukan dakwahnya dengan cara bijaksana dan penuh kearifan
Imam Syafi`i, salah satu pendiri Mazhab fiqih Sunni menyatakan " Kullu Ro`yi Showab Yahtamilu Khotho` Wa Kullu Ro`yi Khotho` Yahtamilu Showab " (pendapatku adalah benar, tetapi mengandung kemungkinan untuk salah, pendapat orang lain salahtetapi mengandung kemungkinan untuk benar). ini merupakan sebuah sikap yang seimbang yang teguh dengan pendirianya, tetapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang menandu kaum Ahlussunah Wal Jama`ah untuk tidak dengan mudah berprilaku seperti " Preman Berjubah " yang berteriak Allahu Akbar  sambil mengacung acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat, seakan akan mereka paling benar dan orang lain salah dan sesat.



Selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dari kematian seseorang, bahkan selamatan dalam menghadapi sesuatu hal, adalah tradisi orang jawa 

Sikap toleran dan proporsional seperti dakwah kaum Ahlussunah Wal Jama`ah inilah yang dicontohkan oleh Waisongo dalam menghadapi tradisi lokal. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damai dalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan hormat menghormati.

Oleh : Sekretaris MWC NU Karangdadap
berdasarkan beberapa Literatur 

Jumat, 22 Oktober 2010

Sang Peminpin

Oleh: K.H.A. Mustofa Bisri

Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: “Lepaskan aku! Siapa ini?”

Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: “Siapa mau membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya riang: “Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.” 
“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;” sahut lelaki yang memeluk dan ‘menawarkan’ dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW.

Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’, adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabatnya, “Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah orang-orang-kota dia.”

***


Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn al-Atsier ) di atas.

Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presiden—bupati Anda?
Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin Anda itu.

Sekarang pengandaianya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai, atau bupati; apakah Anda ‘sampai hati’ bercanda dengan santri atau bawahan Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu?

Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia.

***


Kharqaa’, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, “Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa’; kemana gerangan perempuan itu?”

Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: “Lho, Kharqaa’ sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah.” Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa’ tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya ’ kepada Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku dimana dia dikuburkan?”. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu.

***

Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih) di atas.

Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun.

***


Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: “Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, ‘Mengapa kau lakukan itu?’ Tidak pernah beliau mencelaku.”

“Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu urusan;” cerita Anas lagi, “Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tapi aku berkata, ‘Aku tidak akan pergi.’ Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, ‘Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanakan perintahku?’ Aku pun buru-buru menjawab, ‘Ya, ya, ya Rasulullah, saya pergi.’”

Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, dapatkah Anda membayangkan kasih sayangnya yang begitu besar terhadap abdi kecilnya? Tapi pasti Anda dapat dengan mudah membayangkan betapa besar kecintaan dan hormat si abdi kepada ‘majikan’nya itu.

Waba’du; apakah saya sudah cukup bercerita tentang Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin teladan yang luar biasa itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamNya kepada beliau, kepada keluarga, para sahabat, dan kita semua umat beliau ini.
Amin.