Senin, 31 Januari 2011

Dari Ekstrem ke Jalan Tengah

Oleh : KH Said Aqil Siradj
Gerak-gerik pemikiran dan gerakan Islam di negeri kita belakangan ini menarik diamati. Semenjak reformasi yang telah mengubah wajah negeri ini bergulir, terjadi babak baru erupsi bagi kebangkitan etno-religius. Gelombang pemikiran dan gerakan baru keagamaan itu tampil dengan paradigma berbeda. Di garda depan, ada arus liberalisme Islam seayun dengan kebangkitan fundamentalisme dan puritanisme Islam. Bahkan, menyeruak pula agama-agama baru seperti Lia Eden.

Problem mendasar yang menggelayuti umat Islam tampaknya masih saja berkutat pada problem transformasi global dan situasi lokal yang tidak menentu akibat transisi pascareformasi. Problem krusial inilah yang menyentakkan kesadaran mengenai cara menyikapi hidup di zaman modern ini. Pasalnya, memilih tetap berpegang teguh pada tradisinya berarti terjebak pada eksklusivisme pemikiran. Model ini yang diperankan oleh kalangan fundamentalisme dan radikalisme Islam.

Di sisi lain, merengkuh modernitas secara buta akan membuat umat Islam tercerabut dari akar tradisinya. Model ini, misalnya, diperagakan oleh modernisme dan liberalisme Islam. Sejatinya, yang berimbang adalah menerima keduaduanya, yakni hidup secara modern tetapi tetap berpangku pada akar tradisinya secara kuat. Memang ini bukan perkara mudah. Akan tetapi, seperangkat pemikiran yang terbuka dan kritis, baik terhadap tradisi maupun modernitas, sepatutnya menjadi pijakan mendasar.

Mencairkan Pengutuban

Di sinilah pentingnya mengudar kembali nilai-nilai Aswaja(ahlussunnah wal jamaah). Aswaja merupakan metode berpikir sekaligus metode gerakan yang sangat penting bagi perumusan sikap umat Islam. Aswaja penting dalam kerangka memperkukuh kembali basis moderatisme. Sejarah telah membuktikan bahwa cara berpikir model Aswaja mampu menjadi jalan tengah dalam pergolakan pemikiran Islam kala itu yang kemudian pernah mengalami kebuntuan.

Kala itu, sikap Aswaja telah mencairkan dua kutub ekstrem pemikiran, antara Mu’tazilah dan Qadariyah dengan kubu Khawarij dan Jabariyah. Dalam konteks kekinian, upaya pemberdayaan pemikiran Aswaja diharapkan bisa menengahi perseteruan dua gerakan Islam kontemporer yang juga sama-sama ekstrem, yaitu ekstrem liberalis dan ekstrem fundamentalis. Sembari pula, yang sangat penting adalah penguatan secara kontinu sikap-sikap moderat, toleran, dan kosmopolitan.

Dalam mempertahankan dan mengembangkan konsep Aswaja, selayaknya perlu upaya progresif. Artinya, tidak hanya bertumpu pada pemahaman yang puritan dan antikritik. Moderatisme Aswaja memang telah diletakkan secara mendasar oleh tokoh-tokoh pemikir kampiun seperti Syafi ’i, Maliki, Hanafi dan Hambali dalam bidang fi kih, atau al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, serta oleh al- Ghazali dan al-Junaidi dalam bidang tasawuf.

Tokoh-tokoh tersebut telah menjadi acuan utama (marji al-’ala)bagi prinsip dan tata nilai Aswaja yang telah sukses menunjukkan jalan bagaimana umat Islam harus senantiasa berada pada sikap jalan tengah. Lebih dari itu, sudah waktunya untuk berikhtiar menjauhi sikap sakralisasi pemikiran keagamaan yang hanya akan menghasilkan eksklusivisme keberagamaan. Meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri, sakralisasi terhadap tradisi akan membawa pada “tradisionalisme”.

Atau menukil pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, sakralisasi akan melahirkan masyarakat dengan peradaban teks, yakni masyarakat yang cara berpikirnya dimulai dari teks, melalui teks, dan berakhir pada teks. Pada masyarakat seperti inilah lahir konservativisme peradaban Islam. Seperti dipahami, munculnya Aswaja hakikatnya merupakan respons atas perkembangan pemikiran umat Islam yang cenderung ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri.

Melalui jalan tengah inilah prinsip-prinsip pemikiran Aswaja menetaskan sikap tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Sikap jalan tengah ini jelas masih relevan jika dikaitkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menderas dewasa ini, seperti lahirnya model keberagamaan baru yang sama-sama ekstrem, baik ekstrem liberal maupun radikal (tatharruf). Aswaja akan bisa menjadi jalan tengah untuk menetralisasi dua ekstremitas pemikiran Islam.

Dengan prinsip Aswaja, umat Islam tidak terjebak pada cara berpikir yang kaku dan eksklusif, juga tidak terjebak pada pemikiran liberalisme yang kebablasan. Dalam ungkapan lebih tandas, umat Islam dapat menerima modernitas sembari tetap menghargai tradisinya secara kokoh. Inilah yang dikenal dengan kaidah al muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yakni mempertahankan tradisi atau pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik.

Berpangkal dari prinsip-prinsip Aswaja ini pula, umat Islam tidak akan mudah mengafirkan atau menyesatkan orang lain hanya karena perbedaan semisal dalam babagan ibadah (furu’iyyah)seperti soal tahlilan, shalawatan, istighasah dan lainnya yang saat ini tengah menjadi bahan persitegangan kembali antara kelompok Salafi -Wahabi dan NU. Tegasnya, umat Islam tidak akan gampang menuduh sesat terhadap mereka yang berseberangan yang hanya menguras energi secara sia-sia serta hanya mengulang sejarah kelam umat Islam terdahulu.

Idealnya, umat Islam selalu berpegang teguh pada prinsipra’yuna shawab yahtamil al-khata wa ra’yu ghairina khatha yahtamil alshawab (pendapat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin saja benar). Di altar lain, prinsip Aswaja akan berfungsi pula menjadi rujukan dalam memagari pemahaman yang serba menghalalkan segala cara(ibahiyyah).

Walhasil, prinsip-prinsip Aswaja sudah seharusnya terus dikembangkan sebagai basis moderatisme umat Islam dalam berselancar meningkahi perjalanan sejarahnya dari masa ke masa, baik dalam ranah sosial-politik maupun sosial-keagamaan. Tuntutan pembaruan dan keharusan berpijak di atas tradisi dan modernitas secara simultan saat ini kian niscaya untuk senantiasa dijadikan acuan sikap umat Islam Indonesia yang hidup di alam multikultural ini. Hanya dengan itu, ada jaminan umat Islam Indonesia akan mampu mempertahankan sikap moderat sekaligus tampil di barisan terdepan dalam turut serta menebar kedamaian dunia.

Tulisan ini sudah dimuat di harian Koran Jakarta, Sabtu, 22 Januari 2011

Jumat, 28 Januari 2011

Jangan Tertipu Gamis dan Jenggot

Jakarta, NU Online
Munculnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia yang meresahkan dan merenggut banyak korban jiwa adalah karena selama ini Nahdlatul Ulama tidak pernah diajak bekerjasama oleh Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, kepada NU Online, 28 Desember 2010.

“Kenapa muncul Amrozi, Ali Gufron, Mukhlas, dan gerakan radikal lain? Jawabannya mudah, karena Nahdlatul Ulama tidak diajak bersama-sama membangun bangsa ini selama 32 tahun,” tegasnya. Lalu ia mencontohkan bahwa selama Orde Baru berlangsung, Menteri Agama, kepala kantor wilayah departemen agama hingga kepala madrasah tidak boleh dipegang orang NU.

Kang Said menambahkan, “Padahal khazanah keagamaan mereka sangat minim. Kalau hal ini terjadi di Jawa mungkin masih ditolerir, karena masih banyak kiai. Namun kalau di luar Jawa, mereka benar-benar menjadi satu-satunya tempat bertanya tentang agama.”

“Dalam satu, dua, hingga tiga kali ceramah mungkin penyampaiannya masih bagus. Namun di ceramah selanjutnya, karena minimnya pengetahuan mereka dan kehabisan bahan ceramah, maka yang disuarakan adalah, ‘awas ada kristenisasi’, ‘mari bakar gereja itu’, dan lain sebagainya,” tambah pria kelahiran Cirebon ini.

Untuk menutupi minimnya pengetahuan mereka, masih menurut Kang Said, mereka menutupinya dengan pakaian ala Arab. “Jangan mengira bahwa yang memakai gamis dan berjenggot itu hanya Nabi Muhammad, Abu Jahal pun juga bergamis dan berjenggot. Jadi jangan mudah tertipu dengan penampilan, karena belum tentu jelas pengetahuannya tentang Islam,” ujar Kang Said sambil tersenyum.

“Kesimpulannya, kalau Indonesia ini ingin selamat, NU harus diajak bersama-sama membangun bangsa ini,” pungkas Kang Said. (bil)

Rabu, 19 Januari 2011

GP Ansor Sebagai Ujung Tombak Perjuangan NU

Oleh KH Said Aqil Siradj
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Gerakan Pemuda Ansor memiliki posisi penting dalam NU sejak awal kelahirnnya, tidak hanya berperan sebagai penyemaian kader-kader NU yang dinamis dan militan, tetapi juga sekaligus sebagai ujung tobak bagi perjuangan NU di semua sektor kehidupan. 

Dalam situasi tantangan kebudayaan global dewasa ini NU diharapkan bisa tetap eksis, bahkan diharapkan dapat mewarnai kehidupan global dewasa ini  yang penuh persaingan dan pertikaian antara berbagai ideologi-ideologi yang ekstrem dan radikal yang mengancam ketenteraman dan kedamaian. Dilain pihak gaya hidup yang konsumtif dan penghamburan energi yang berlebihan tidak hanya membuat kerusakan lingkungan sehingga terjadi climate change (perubahan iklim) dan cuaca ekstrem dalam dekade terakhir ini, tetapi juga mengakibatkan kesenjanga sosial antara kaya dan miskin.

Di tengah munculnya ektrem ideologi, ekstrem gaya hidup, itu NU akan tetap mengambil jalan tengah (ummat wasathan), karena ini merupakan jalan Islam yang sesungguhnya, sebagaimana Firman Allah. 

“Dan demikianlah aku menciptakanmu sebagai umat yang (moderat, adil), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatanmu.” (QS: Al Baqarah 143).

Dalam menjalanan tugas ini tentu tidak mudah, banyak tantangan terutama dari ideologi ekstrem yang ada, maka dalam kondisi seperti ini GP Ansor NU harus tampil di garis depan perjuangan NU untuk membentengi ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah.Ajaran ahlusunnah ini berpegang teguh pada Sunnah Nabi secara,qoulan wa fi’lah wa taqriran (sabda, tindakan dan kesepakatan). Sebagai pembawa misi kenabian maka ahlussunnah selalu berpegang pada prinsip jamaah yaitu bersama dan membela kepentingan masyarakat banyak. 

Dalam kondisi seperti ini maka sebenarnya Ansor di sini tidak terbatas hanya Ansoru Nahdlatul Ulama, tetapi lebih jauh lagi menjadi Ansorul Islam, Ansarullah dan Ansorul Wathan (Pembela Tanah Air). Ini bukan pengandaian tetapi telah diperankan GP Ansor.

Menghadapi tanggung jawab agama, negara dan bangsa ini GP Ansor NU perlu menyingsingkan lengan baju, karena hanya dengan demikian akan bisa  mengemban peran besar sebagaisyuhudu hadhari (penggerak peradaban) bangsa, tetapi juga berperan sebagai syuhud tsaqafi (penggerak intelektual) dalam membangun dan menyangga bangsa ini. Komitmen NU pada bangsa ini tidak bisa ditawar, karena NU terlibat dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sehingga ketaatan NU pada Bangsa dan negara ini bersifat mutlak. Dalam negara ini ini bukan sekadar berperan sebagaistake holder (pemangku kepentingan) yang tidak memiliki peran apapun,  sebagaimana sering disebut orang. NU turut mendirikan negara ini dengan pengorbanan harta dan nyawa, karena itu NU duduk sebagai share holder (pemilik saham) dalam NKRI ini, sehingga posisinya kuat dan memiliki tanggung jawab terhadap negara ini. 

Sebagai salah satu pendiri  NKRI maka sense of belonging (rasa memiliki) NU terhadap negara ini sangat tinggi sehingga harus terus dibela dan dijaga dalam koridor empat pilar utama  yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Demikian sikap NU terhadap negara ini. Sementara terhadap pemerintah NU menggunakan pendekatan amar makruf nahi munkar, bila pemerintah berjalan sesuai dengan aturan dan aspirsi rakyat, maka NU akan mendukung penuh kebijakan pemerintah, tetapi ini bukan berarti NU berkoalisi. Karena NU bukan partai politik yang bisa melakukan koalisi dengan pemerintah. Sebaliknya bila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan konstitusi dan aspirasi rakyat, maka NU akan melakukan kritik, namun ini tidak berarti oposisi, NU bukan partai politik yang bisa beroposisi. 

Dengan demikian sikap NU terhadap pemerintah akan lebih proporsional dan rasional tidak apriori menerima sebagimana lazimnya dilakukan oleh kelompok koaliasi. Dan tidak apriori menolak sebagaimana dilakukan kelompok oposisi. Dengan demikian diharapkan NU akan mampu menjaga keseimbang kehidupan bernegara. Dalam konteks ini Peran GP Ansor sangat diperlukan bahkan harus menjadi ujung tombak dari gerakan kultural NU dalam menjaga bangsa dan negara ini. Tanpa diminta terbukti Ansor selalu menunaikan tugas ini. Untuk mengefektifkan peran ini tentunya GP Ansor NU perlu melakukan konsolidasi dan kaderisasi secara terencana dan teratur.


Konsolidasi Organisasi

Menghadapi tugas berat baik yang dihadapi oleh NU dan negara serta bangsa ini, tentu diperlukan sebuah organisasi yang solid, sehingga bisa berjalan secara efektik. GP Ansor NU yang lahir 1934 telah berkembang luas yang memiliki cabang di seluruh penjuru tanah air. Dan memainkan peran di seluruh level perjuangan. Setiap zaman membawa tantangannya sendiri dan setiap tantangan perlu respon dan jawaban tersendiri. Karena itu bagaimanapun organisasi yang besar ini perlu terus dikonsolidasi, ditata ulang manejemen kepemimpinannya, agar mamapu merespon dan mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi.

Sistem kehidupan sosial di alam modern yang lebih individual dan rasionalistik dengan sendirinya telah merenggangkan ikatan-ikatan sosial tradisional. Dengan demikian juga akan mempengaruhi pola berorganaisasi.  Kerenggangan organisasi kalau dibiarkan akan melemahkan gerak organisasi. Sementara organisasi yang lamban bergerak akan sulit merespon perkembanagan yang terjadi dengan sedemikian cepat. Demikian pula derasnya arus perubahan soosial juga mempertinggi tunbtutan masyarakat, semuanya ini hanya bisa direspon dan diantisipasi oleh organisasi yang benar-benar solid.

Dari zaman ke zaman GP Ansor bisa membuktikan kemampuannya mengambil peran dalam kehidupan di negeri ini. Bahkan dalam situasi paling sulit pun Ansor bisa mengambil peran strategis. Ini tidak lain karena organisasi ini mampu menjaga keutuhan organisasi, sehingga peran-perannya masih dirasakan tidak hanya oleh umat Islam tetapi juga oleh bangsa ini. Situasi telah berubah, tantangan ke depan makin besar, sendi-sendi organisasi muai digerogoti oleh sikap apriori, sikap mementingkan diri sendiri. Agenda bagi Ansor adalah bagaiman terus menggairahkan spirit berorganisasi, spirit membela rakyat dan keutuhan bangsa. Ini arti penting konsolidasi organisasi.

Menggerakkan Kaderisasi.

Sejak awal berdirinya GP Ansor NU adalah merupakan sebuah organisasi kader, organisasi ini didirikan untuk menyiapkan kader muda yang nantinya akan berperan di NU. Bayangkan NU telah lahir sebelum negara Indonesia ini ada, dan sekarang masih tetapi ada tidak kurang sedikit apapun bahkan semakin besar, sementara banyak organisasi seusia yang sudah tiada. Rahasia NU sebagai organisasi yang mamapu bertahan melewatan berbagai zaman yang kini berusia 85 tahun tidak lain salah satunya karena tertibnya NU dalam melaksanakan kaderisai, yang salah satunya dilaksanakan oleh GP Ansor.

Keberlangsungan organisasi selain ditunjang oleh adanya ajaran yang selalu relevan juga ditunjang oleh adanya sistem kaderisai yang runtut. Tanpa adanya kaderisasi tidak mungkin dilakukan regenerasi secara sempurna, sementara organisai tanpa regenerasi akan mengalami kejumudan dan stagnasi. Dari situ banyak organisqsiyang laahair kemudian pada berguguran. Kepentingan pragmatis dan jangka pendek, selalu mengabaikan program kaderisasi, karena kaderisai diangap sebagai sesuatu yang mahal dan tidak jelas hasilnya. Memang kaderisasi adalahhuman invesment (investasi kemanusiaan) jangka panjang, maka hanya pemimpin yang visoner saja yang peduli pada kaderisasi ini. 

Kaderisasi ini terbukti tidak hanya dikhususkan untuk NU tetapi lebih luas lagi sebagai kaderr bangsa, terbukti banyak kader GP Ansor ayang berkiprah di berbagai lembaga-lembaga strategis, baik di pemerintahan, di organisasi kemasyarakat, di partai politik, di perguruan tinggi, di lembaga profesi, ketentaraan dan lain sebagainya. Dengan demikian menjalankan kaderisasi juga merupakan investasi besar dan sekaligus peran penting dalam membangun bangsa dan negara ini secara keseluruhan. Mengingat sangat variatifnya anggota GP Ansor, maka kaderisai mesti dilakukan secara multi disiplin dan perlu diutamakan  pengembangan masing-masing  talenta dari anggota, agar diseminasi atau penyebaran kader GP Ansor semakin meluas, sehingga perannya juga semakin besar.

Kaderisiasi yang teratur dan berwawasan ini eengan sendirinya akan melahirkan kepemimpinan yang visioner yang mampu membuka cakrawala organisiai dan cakap dalam mengelola organisasi dalam kondisi apapun, sehingga mampu mengemban amanat organisasi yang tidak lain adalah amanat agama dan amanat bangsa. Pemimpin yang mampu memegang amanah itulah yanga sangat diharapkan perannya dalam organisasi sebesar GP Ansor ini.

Waallahul muwafiq ila aqwamith thariq.

Wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Disampaikan dalam pembukaan Kongres Ke XIV GP Ansor NU di Surabaya, 13 Januari 2011

Senin, 17 Januari 2011

Pengaruh Dzikir Terhadap Ketenangan Jiwa

Surat al-Ra'd / 13:28, menyebutkan bahwa dengan mengikat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram. Dzikir sebagai metode mencapai ketenagan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara keras (dzikr jahr), dan dengan kalimat-kalimat thayyibah yang memfokus, dari kalimat syahadat La ilaha illa Allah ke lafazh Allah dan sampai ke lafazh hu.   
Sebenarnya hubungan dzikir dengan ketentraman jiwa dapat dianalisis secara ilmiah. Dzikir secara lughawi artinya ingat atau menyebut. Jika diartikan menyebut maka peranan lisan lebih dominan, tetapi jika diartikan ingat, maka kegiatan berpikir dan merasa (kegiatan psikologis) yang lebih dominan. Dari segi ini maka ada dua alur pikir yang dapat diikuti:

a)  Manusia memiliki potensi intelektual. Potensi itu cenderung aktif bekerja  mencari jawab atas semua hal yang belum diketahuinya. Salah satu hal yang merangsang berpikir adalah adanya hukum kausalitas di muka bumi ini. Jika seseorang melahirkan suatu penemuan baru, bahwa A disebabkan B, maka berikutnya manusia tertantang untuk mencari apa yang menyebabkan B. Begitulah seterusnya sehingga setiap kebenaran yang di temukan oleh potensi intelektual manusia akan diikuti oleh penyelidikan berikutnya sampai menemukan kebenaran baru yang mengoreksi kebenaran yang lama, dan selanjutnya kebenaran yang lebih baru akan ditemukan mengoreksi kebenaran yang lebih lama.

Sebagai makhluk berfikir manusia tidak pernah merasa puas terhadap 'kebenaran ilmiah' sampai ia menemukan kebenaran perenial  melalui jalan supra rasionalnya. Jika orang telah sampai kepada kebenaran ilahiah atau terpandunya pikir dan dzikir, maka ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebenaran yang lain, dan ketika jiwa itu menjadi tenang, tidak gelisah dan tidak ada konflik batin. Selama manusia masih memikirkan ciptaan Allah SWT dengan segala hukum-hukumnya, maka hati tidak mungkin tenteram dalam arti tenteram yang sebenarnya,  tetapi jika ia telah sampai kepada memikirkan Sang Pencipta dengan segala keagungannya, maka manusia tidak sempat lagi memikirkan yang lain, dan ketika itulah puncak ketenangan dan puncak kebahagiaan tercapai, dan ketika itulah tingkatan jiwa orang tersebut telah mencapai al- nafs al-muthma'innah.

b) Manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, tidak ada habis-habisnya, padahal apa yang dibutuhkan itu tidak pernah benar-benar dapat memuaskan (terbatas). Oleh karena itu selama manusia masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh ketentraman, karena yang terbatas (duniawi) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas (nafsu dan keinginan). Akan tetapi, jika yang dikejar manusia itu Allah SWT yang tidak terbatas kesempurnaan-Nya, maka dahaganya dapat terpuaskan. Jadi jika orang telah dapat selalu ingat (dzikir) kepada Allah maka jiwanya akan tenteram, karena 'dunia' manusia yang terbatas telah terpuaskan oleh rahmat Allah yang tidak terbatas.

Hanya manusia pada tingkat inilah yang layak menerima panggilan-Nya untuk kembali kepada-Nya dan untuk mencapai tingkat tersebut menurut al-Rozi hanya dimungkinkan bagi orang yang kuat potensinya dalam berpikir ketuhanan atau kuat dalam 'uzlah dan kontemplasi (tafakkur)-nya.

Jadi al-nafs al-muthma'innah adalah nafs  yang takut kepada Allah, yakin akan berjumpa dengan-Nya, ridlo terhadap qodlo-Nya, puas terhadap pemberian-Nya, perasaannya tenteram, tidak takut dan sedih karena percaya kepada-Nya, dan emosinya stabil serta kokoh.

Wassalam,
agussyafii

Minggu, 16 Januari 2011

Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama ( MA NU ) Karangdadap


Pada tanggal 12 Januari 2011 jam 13.45 WIB 
Kepala Kantor Kementerian Agama ( Kemenag ) Kabupaten Pekalongan  DR.H.Ahmad Umar, MA dan Drs.H Suhaimi di dampingi Kepala KUA Karangdadap (Drs H Ahmad Casmudi), Ketua MWC NU Karangdadap (H Asror Abd Rozaq) dan Pengurus Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Karangdadap Drs H A Munir dan Mukhibbin, hadir di  Karangdadap dalam rangka meninjau lokasi Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Karangdadap yang akan beroperasi mulai tahun Pelajaran 2011 - 2012 yang akan datang


Lokasi Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama ( MA NU ) Karangdadap 
yang di tinjau tersebut terletak disebelah utara lokasi SMP NU Karangdadap (nampak dalam gambar diatas) bagian tembok bangunan MA NU yang disebelahnya ada beberapa kendaraan yang di parkir


Beliau mengatakan pada pengurus MA NU Karangdadap agar segera mempersiapkan segalanya 
diantaranya perlunya sosialisasi ke SMP / MTs terdekat juga terhadap masyarakat  Kecamatan Karangdadap dan sekitarnya, walaupun sudah  ada SMK N kami yakin bahwa MA NU Karangdadap
juga salah satu pilihan bagi masyarakat yang berbasis agama seperti karangdadap ini


Kemudian pada jam 14.40 WIB Kepala Kemenag (DR H.A.Umar) beserta rombongan meninggalkan lokasi dan sebelumnya berjanji akan membawa Proposal Ijin Operasional MA NU Karangdadap tersebut pada awal Pebruari 2011 ke Kanwil Kemenag Jawa Tengah bersama tiga Madrasah Aliyah yang lain, karena pada tahun ini di Kabupaten Pekalongan ada empat (4) Madrasah Aliyah baru yang akan mulai menerima siswa baru pada tahun pelajaran 2011 - 2012, salah satunya MA NU Karangdadap 

Rabu, 12 Januari 2011

Pecinta Al Qur’an Sepanjang Hayat

KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Julai 1912 di desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulakan pengajian formal agamanya di Darul Maarif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Maarif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qiraah di Pesantren Krapyak dengan Kiyai Munawwir. Ilmu hadits, fiqh dan tafsir didalaminya di Pesantren Termas, Pacitan di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.
Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palangan Ambarawa. Kiyai Muntaha juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai idea yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai tangga pendidikan, antara lain, Taman Kanak-kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktiviti santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualiti diri, maupun kepada masyarakat banyak.


Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi jodol "Tafsir al-Munthaha".

KH Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia kira-kira 92 tahun. Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan ke atas beliau, guru-guru beliau dan muslimin dan muslimat sekaliannya.........al-Fatihah.

Syeh K.H.Muslih Abdurrohman

Perintis Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia
Syeikh K.H Muslih Abdurrahman adalah ulama allamah yang pernah mengasuh pon-pes Futuhiyyah Mranggen sejak tahun 1936-1981 Masehi. Beliau sangat berjasa dalam mengembangkan dan membesarkan pon-pes Futuhiyyah Mranggen brkat fodlol dan rahmat Allah s.w.t hingga dapat melahirkan banyak kiai dan ulama yang terbesar di Jawa khususnya di Indonesia umumnya.
Dan Beliau berjasa pula dalam menyebarkan thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Jawa / Indonesia, hingga melahirkan banyak Kiai dan Guru Mursyid Thoroqoh tersebut. Disamping berjasa sebagai salah seorang pendiri dan salah seorang Ro’is Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia yang di kenal sekarang dengan jam’iyyah ahlith Thoriqoh Nahdriyyah itu beliau juga ikut aktif mengembangkan dan membesarkan Jam’iyyah tersebut hingga akhir hayat pada tahun 1981 Masehi.

Oleh karena itu beliau dapat disebut sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin. Ghofarollohu wa Rohimah wa Qoddasallohu Asroroh wa yamidduna bi asrorihi wa barokati wa ulumihi wa karomatihi wa maunatihi wa syafa’atihi wa jami’i ahli silsilatihim wa usuluhim wa yulhiquna bihim fi khoirin wa sa’adatin wa salamah. Allahumma amiin.
Beliau berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik anggota lasyikar hizbulloh yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh K.H Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat dan menjadi komando pasukan sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama’ di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
Beliau wafat dan di makamkan di ma’la Makkah al Mukarromah di pemakaman yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dekat/di depan kompleks makam Sayyidatina Khodijah r.a, istri Rosulillah s.a.w. Jama’ah haji Indonesia dari Mranggen dan Demak banyak yang ziarah kepada beliau dengan bantuan mukimin setempat.
Beliau wafat pada bulan syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk di lestarikan dan di kembangkan lebih lanjut. Dan Al-hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mranggen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa.Allahumma amiin.
I. Identitas Diri dan Keluarga
Syeikh K.H Muslih bin Syeikh K.H Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah, asli/kelahiran suburan Mranggen Demak,pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh K.H Ustman bin Syeikh K.H Abdurrohman.
Silsilah Syeikh K.H Muslih
Dari Ayah :
Muslih bin Abdurrohman din Qosidil haq bin R. Oyong Abdulloh Muhajir bin Dipo Kusumo bin P.Wiryo Kusumo / P.Sedo Krapyak bin P.Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin P. Agung atau NotoProjo bin P.Sabrang bin P. Ketib bin P. Hadi bin K. S. Kali jogo,hingga Ronggolawe adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Saayyidina Abbas r.a paman Rasulullah s.a.w.
Dari Ibu :
Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh hingga bersambung pada ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro I / R. Fatah bin R. Kertowijoyo / Darmokusumo Brawijaya I Raja Majapahit.
Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah puteri K. S Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri K.S Ampel Surabaya, Dzuriyyah Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H Muslih Abdurrahman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti K.H Siroj dan berputra :
1. Al-Inayah, istri Syeikh K.H. Mahdum Zein.
2. K.H. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk sebagai pengasuh utama I pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi.
3. Faizah, istri Syeikh K.H. Muhammad Ridhwan.
4. K.H Muhammad Hanif Muslih L.c sebagai pengasuh utama II pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi.
5. Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil.
Setelah Nyai Marfu’ah wafat tahun 1959 Masehi, Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh / Al-Hamilah bin K.H. Muhsin ( ayah K.H. Muhibbin Al-Hafid, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen ) dan berputra :
1. Qoni’ah istri K.H. Masyhuri, B.A.
2. Masbahah, istri Syeikh K.H Abdurrahan Badawi / Syeikh Dur.
Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh K.H Muslim Abdurrahman menikah lagi dengan Nyai. Sa’adah binti H. Mahhmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur allah husnil khotimah fi tho’atillah fil alwi wal afiyah wassalamah was sa’adah fi daruun-min fadllillah wa rohmatillah Allahuma amiin.Begitu pula keluarga dan dzuriyyah syeikh K.H muslih, bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang- cabangnya, para muhibbin beliau beliau erikut para pejuang Fi Sabillillah termasuk K.Habdurrahman Wahid (GUS Dur Presiden R.I ) dan keluarga masing-masing. Allahumma amiin.
II. PENDIDIKANNYA
Pendidikan Syeikh K.H. Muslih bin Abdurrahman, diperoleh dari :
1. Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq.
2. Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh K.H. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, disamping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau.
3. Belajar di pondok pesantren Mangkang kulon.
4. Belajar di pondok pesantren Sarag Rembang milik Syeikh K.H. Zuber dan Syeikh Imam, disini beliau sambil belajar / santri kalong kepada Syeikh K.H Maksum, Lasem Rembang.
5. Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan.
6. Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di banten yaitu Syeikh Abdul Latif Al- Bantani
7. Belajar kepada Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky di Mekah.
8. Belajar ilmu Ekonomi dan dagang.
9. Belajar ilmu kemiliteran.
Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikgh K.H.Muslih bin Aburrahman termasuk Ulama’ Allamah Ahli ilmu-Kalam Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balaqhoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh) Ahli Ilmu-Klam /Tauhid., Ahli Ilmu Tasawwuf –Ahli Ilmu Thoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan, Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah Ilmu Jihad fi sabillillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh ksrns itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah Bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi peryaratan sebagai guru Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh syyaidina Syeikh Abdul Qodir Al –Jaelani, r.a, yang mana seorang mursyid itu seharusnya :
1. Memiliki Ilmu Ulam’ ( Ahli Agama Islam )
2. Memiliki Ilmu Siasah ( Politik Pemerintahan ).
3. Memiliki Ilmu Hikmah ( Kebijaksanaan Ahli Hukum Islam ).
Syeikh K.H. Muslih teryata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan ilmu Tafsirnya, Hadist dan ilmu Muthola’ah Hadistnya ilmu fiqh dan Hilafayahnya, ilmu Usuluddin ( ilmu kalam ) dan ilmu Ushulul Fiqh, ilmu Qiro’ah / Tawid, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Ma’ani, ilmu Bayan Badi’, ilmu arudl, ilmu Qowafi, ilmu Matiq dan ilmu tasawwuf / ilmu Thoriqoh. Ilmu – ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmuthoriqoh / ilmu Tasawwuf. Disamping ilmu-ilmu tersebut Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman diwaktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabitan Islamy maupun do’a-do’a / aurrod yang khusus, tersasuk aurod khusus untuk memdapatkan Ilmu yang bermanfa’at lagi barokah. Ilmu yang manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri ( dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolahnya, sebab fadlol dan rhmat Allah s.w.t ). Sedang ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, baik melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain ). Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik ( guru yang berhasil ) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal ( madrasah ) saat beliau mondok di Termas, Pacitan. Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh K.H. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen,selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki ( dalam setahun kerja, teryata tidak laba dan tidak rugi ) setelah itu beliau berangkat ke Terma memenuhi perintah Syeikh K. H. Maksum Lalem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
III. PERJUANGAN
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selain berjuangan demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang islami, ternyata beliau juga berjuang fisabilillah di sisi yang lain, yaitu :
1. Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk Pengajian dan Bai’at Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah .
2. Mendirikan / menyelenggarakan Pendidikan Masdrasah/ Sekolah Futuhiyyah
3. Menjadi Pengasuh Utama Pon-Pes Futuhiyyah
4. Memperluas lokasi / Areal Pondok Pesantren
5. Merehab dan membangun Prasarana Pondok Pesantren, termasuk membangun Masjid An-Nur dikonplek Pon-Pes Futuhiyyah.
6. Menjadi Anggota Pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen
7. Menjadi Pengurus Jam’iyyah N.U
8. Menjadi Komandan Barisan Sabilillah, sektor Semarang Timur.
9. Ikut Mendirikan dan menjadi pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia.
10. Mendirikan dan menjadi Pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Nahdiyyah
11. Mendirikan Madrasah Aliyah Persiapan F.H.I UNNU Mranggen
12. Mendirikan F.H.I UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
13. Mendirikan atau menyelenggarakan Madrasah dan Sekolah Formal.
IV. MENJADI PENGASUH PON-PES FUTUHIYYAH
Sebelum Syeikh K.H. Muslih mondok kembali di Pondok Pesantren Termas, beliau sempat mukim dirumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di Pondok Pesantren Sarang.
Pondok Pesantren yang telah direhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh K.H. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi berhenti, setelah diminta oleh N.U cabang Mranggen .
Akhirnya Syeikh K.H. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di konplek Pon-Pes Futuhiyyah dengan tikat tidak boleh diminta oleh N.U lagi. Jika N.U ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri.
Selang beberapa waktu, Pon-Pes Futuhiyyah mendirikan Madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh N.U. Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, Murid dan Gurunya di pindah tempat, yang kemudian dikelola oleh N.U Cabang Mranggen dan dua Kali pula terhenti.
Setelah Madrasah yang didirikan oleh Syeikh K.H. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan oleh adik beliau, yaitu Syeikh K.H. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tak boleh dipindah lagi, karena beliau akan Mondok lagi ke Termas.
N.U. cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Syeikh K.H. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas di ajar oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (kelas Alfiyyah Ibnu Malik). Semula Syeikh K.H. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh K.H. Ali Maksum. Setelah itu, Beliau akhirnya bersedia. Namun Ternyata Syeikh K.H. Ali Maksum hanya sekali mengajar Syeikh K.H. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, laalu beliau menghilang.
Dengan berat hati Syeikh K. H. Muslih mengajar dikelas yang ditinggalkan Syeikh K.H . Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh K.H. Ali Maksum Baru muncul dan bertanya kepada murid – murid kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadt baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh K.H. Muslih di tetapkan guru kelas tersebut.
Suka duka Syeikh K.H. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh K.H. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya di rawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh K.H. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Al-Hamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan M.I, karana pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyyah yang diselenggarakan pada pagi hari.
Mengenai bagaimana tekhnis pengumuman P.M.B yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jenis santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.
Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santri mukimnya semakin bertambah ( antara 300 – 400 orang ), di samping santri lajo yang masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetinan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh K.H. Muslih dikenal sebagai Kiai yang enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin, termasuk Syeikh K.H. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero Jawa Tengah,dan sebagainya.
Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadlol dan rohmat Allah s.w.t. yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah Ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadloh, termasuk dzikir thoriqoh, khususnya Syeikh K.H. Ibrohim. Yahya Brumbung, Syeikh K.H. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh K.H. Hadi Giri Kusumo, Syeikh Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir Al0Jaelani r.a dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan / pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesanten termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring pribadi beliau menggerakkan pulapartisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik dalam bentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber – sumber yang lain berasal dari sumbangan pemerintah.
Pada masa hidup beliau, partisipasi santri besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah, sebagai pengalaman ilmu, ikut andil dalam jariyyah, bersatu dan bergotong royng secara ikhlas merealisasi program pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah s.w.t. Untukkeperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelakerintis Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia
Syeikh K.H Muslih Abdurrahman adalah ulama allamah yang pernah mengasuh pon-pes Futuhiyyah Mranggen sejak tahun 1936-1981 Masehi. Beliau sangat berjasa dalam mengembangkan dan membesarkan pon-pes Futuhiyyah Mranggen brkat fodlol dan rahmat Allah s.w.t hingga dapat melahirkan banyak kiai dan ulama yang terbesar di Jawa khususnya di Indonesia umumnya.
Dan Beliau berjasa pula dalam menyebarkan thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Jawa / Indonesia, hingga melahirkan banyak Kiai dan Guru Mursyid Thoroqoh tersebut. Disamping berjasa sebagai salah seorang pendiri dan salah seorang Ro’is Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh di Indonesia yang di kenal sekarang dengan jam’iyyah ahlith Thoriqoh Nahdriyyah itu beliau juga ikut aktif mengembangkan dan membesarkan Jam’iyyah tersebut hingga akhir hayat pada tahun 1981 Masehi.

Oleh karena itu beliau dapat disebut sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin. Ghofarollohu wa Rohimah wa Qoddasallohu Asroroh wa yamidduna bi asrorihi wa barokati wa ulumihi wa karomatihi wa maunatihi wa syafa’atihi wa jami’i ahli silsilatihim wa usuluhim wa yulhiquna bihim fi khoirin wa sa’adatin wa salamah. Allahumma amiin.
Beliau berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik anggota lasyikar hizbulloh yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh K.H Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat dan menjadi komando pasukan sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama’ di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
Beliau wafat dan di makamkan di ma’la Makkah al Mukarromah di pemakaman yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’ binti Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, dekat/di depan kompleks makam Sayyidatina Khodijah r.a, istri Rosulillah s.a.w. Jama’ah haji Indonesia dari Mranggen dan Demak banyak yang ziarah kepada beliau dengan bantuan mukimin setempat.
Beliau wafat pada bulan syawal 1981 Masehi, dengan mewariskan pon-pes Futuhiyyah yang besar untuk di lestarikan dan di kembangkan lebih lanjut. Dan Al-hamdulillah pon-pes Futuhiyyah Mranggen tetap lestari dan berkembang hingga saat ini. Semoga demikian seterusnya hingga akhir masa.Allahumma amiin.
I. Identitas Diri dan Keluarga
Syeikh K.H Muslih bin Syeikh K.H Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah, asli/kelahiran suburan Mranggen Demak,pada tahun 1908 Masehi. Beliau adalah adik kandung dari Syeikh K.H Ustman bin Syeikh K.H Abdurrohman.
Silsilah Syeikh K.H Muslih
Dari Ayah :
Muslih bin Abdurrohman din Qosidil haq bin R. Oyong Abdulloh Muhajir bin Dipo Kusumo bin P.Wiryo Kusumo / P.Sedo Krapyak bin P.Sujatmiko atau Wijil II / Notonegoro II bin P. Agung atau NotoProjo bin P.Sabrang bin P. Ketib bin P. Hadi bin K. S. Kali jogo,hingga Ronggolawe adipati Tuban I atau Syeikh Al-Jali / Syeikh Al-Khowaji, yang berasal dari Baghdad keturunan Saayyidina Abbas r.a paman Rasulullah s.a.w.
Dari Ibu :
Muslih bin Shofiyyah binti Abu Mi’roj wa binti Shodiroh hingga bersambung pada ratu Kalinyamat binti Trenggono Sultan Bintoro Demak II bin Sultan Bintoro I / R. Fatah bin R. Kertowijoyo / Darmokusumo Brawijaya I Raja Majapahit.
Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadliri yang berasal dari Aceh dan menjabat sebagai adipati Bintoro Demak di Jepara. Sedangkan istri Sultan Trenggono adalah puteri K. S Kalijogo dan istri Sultan Fatah / Ibu Sultan Trenggono adalah putri K.S Ampel Surabaya, Dzuriyyah Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H Muslih Abdurrahman menikah dengan Nyai Marfu’ah binti K.H Siroj dan berputra :
1. Al-Inayah, istri Syeikh K.H. Mahdum Zein.
2. K.H. M.S. Luthfi Hakim Muslih Bc.Hk sebagai pengasuh utama I pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1971 Masehi.
3. Faizah, istri Syeikh K.H. Muhammad Ridhwan.
4. K.H Muhammad Hanif Muslih L.c sebagai pengasuh utama II pon-pes Futuhiyyah sejak tahun 1985 Masehi.
5. Putra-putra lainnya meninggal sejak kecil.
Setelah Nyai Marfu’ah wafat tahun 1959 Masehi, Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman menikah lagi dengan Nyai Mu’minah Al-Hafidhoh / Al-Hamilah bin K.H. Muhsin ( ayah K.H. Muhibbin Al-Hafid, pengasuh pon-pes Al-Badriyyah Mranggen ) dan berputra :
1. Qoni’ah istri K.H. Masyhuri, B.A.
2. Masbahah, istri Syeikh K.H Abdurrahan Badawi / Syeikh Dur.
Setelah Nyai Mu’minah wafat pada tahun 1964 Masehi, Syeikh K.H Muslim Abdurrahman menikah lagi dengan Nyai. Sa’adah binti H. Mahhmud, Randusari Semarang sampai sekarang beliau masih hidup, semoga thowil umur allah husnil khotimah fi tho’atillah fil alwi wal afiyah wassalamah was sa’adah fi daruun-min fadllillah wa rohmatillah Allahuma amiin.Begitu pula keluarga dan dzuriyyah syeikh K.H muslih, bani Abdurrohman dan para santri dan alumni pon-pes Futuhiyyah Mranggen dan cabang- cabangnya, para muhibbin beliau beliau erikut para pejuang Fi Sabillillah termasuk K.Habdurrahman Wahid (GUS Dur Presiden R.I ) dan keluarga masing-masing. Allahumma amiin.
II. PENDIDIKANNYA
Pendidikan Syeikh K.H. Muslih bin Abdurrahman, diperoleh dari :
1. Belajar pada orang tua sendiri, yaitu Syeikh K.H. Abdurrahman bin Qosidil Haq.
2. Belajar di pondok pesantren termasuk madrasahnya Syeikh K.H. Ibrohim Yahya Brumbung Mranggen, disamping belajar pula saat pergi Haji bersama beliau.
3. Belajar di pondok pesantren Mangkang kulon.
4. Belajar di pondok pesantren Sarag Rembang milik Syeikh K.H. Zuber dan Syeikh Imam, disini beliau sambil belajar / santri kalong kepada Syeikh K.H Maksum, Lasem Rembang.
5. Belajar-mengajar di pondok pesantren Termas Pacitan.
6. Belajar ilmu thoriqoh dan bai’at mursyid di banten yaitu Syeikh Abdul Latif Al- Bantani
7. Belajar kepada Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky di Mekah.
8. Belajar ilmu Ekonomi dan dagang.
9. Belajar ilmu kemiliteran.
Dari hasil pendidikannya tersebut Syeikgh K.H.Muslih bin Aburrahman termasuk Ulama’ Allamah Ahli ilmu-Kalam Bahasa Arab (Nahwu, Shorof, Balaqhoh, hingga ilmu Mantiq dan Arudh) Ahli Ilmu-Klam /Tauhid., Ahli Ilmu Tasawwuf –Ahli Ilmu Thoriqoh Mu’tabaroh hingga ahli pula dalam Ilmu Kepemimpinan Ilmu Kependidikan, Ilmu Siasah, Ilmu Hikmah Ilmu Jihad fi sabillillah termasuk Ilmu Kemiliteran. Oleh ksrns itu beliau sangat pantas menjadi Guru Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah Bahkan menjadi Syeikhul Mursidin atau guru para mursyid, sebab beliau telah memenuhi peryaratan sebagai guru Guru Mursyid sebagai mana yang dianjurkan oleh syyaidina Syeikh Abdul Qodir Al –Jaelani, r.a, yang mana seorang mursyid itu seharusnya :
1. Memiliki Ilmu Ulam’ ( Ahli Agama Islam )
2. Memiliki Ilmu Siasah ( Politik Pemerintahan ).
3. Memiliki Ilmu Hikmah ( Kebijaksanaan Ahli Hukum Islam ).
Syeikh K.H. Muslih teryata belajar dan mengajar sebagaimana tersebut dalam manaqib As-Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani r.a, yaitu Tafsir dan ilmu Tafsirnya, Hadist dan ilmu Muthola’ah Hadistnya ilmu fiqh dan Hilafayahnya, ilmu Usuluddin ( ilmu kalam ) dan ilmu Ushulul Fiqh, ilmu Qiro’ah / Tawid, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Ma’ani, ilmu Bayan Badi’, ilmu arudl, ilmu Qowafi, ilmu Matiq dan ilmu tasawwuf / ilmu Thoriqoh. Ilmu – ilmu tersebut semuanya diajarkan di pon-pes madrasah, kecuali ilmuthoriqoh / ilmu Tasawwuf. Disamping ilmu-ilmu tersebut Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman diwaktu mudanya juga rajin belajar ilmu-ilmu kanuragan dan ketabitan Islamy maupun do’a-do’a / aurrod yang khusus, tersasuk aurod khusus untuk memdapatkan Ilmu yang bermanfa’at lagi barokah. Ilmu yang manfa’at ialah ilmu yang dapat diamalkan sendiri ( dirinya dapat beribadah billah sesuai dengan ilmu yang diperolahnya, sebab fadlol dan rhmat Allah s.w.t ). Sedang ilmu yang barokah ialah ilmu yang sudah dapat ditularkan kepada orang lain, baik melalui pendidikan dan pengajaran maupun nasehat, baik secara langsung maupun tidak langsung ( melalui tulisan dalam buku / kitab yang disusun, digandakan dan dibaca oleh orang lain ). Selain belajar ilmu-ilmu tersebut beliau sempat belajar bagaimana cara mengajar yang baik ( guru yang berhasil ) dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal ( madrasah ) saat beliau mondok di Termas, Pacitan. Sebelum beliau di Termas, sepulang dari pondok Sarang beliau bersama kakaknya, yaitu Syeikh K.H. Utsman bin Abdurrohman sempat belajar dagang pakaian jadi di pasar Mranggen,selama satu tahun, atas perintah orang tuanya agar merasakan bagaimana susahnya orang bekerja mencari rejeki ( dalam setahun kerja, teryata tidak laba dan tidak rugi ) setelah itu beliau berangkat ke Terma memenuhi perintah Syeikh K. H. Maksum Lalem sekalian ingin menambah ilmu dan pengalaman.
III. PERJUANGAN
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selain berjuangan demi terwujudnya suatu pribadi yang baik serta menjadi ulama pejuang islami, ternyata beliau juga berjuang fisabilillah di sisi yang lain, yaitu :
1. Menjadi pengasuh pendidikan pesantren, termasuk Pengajian dan Bai’at Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah .
2. Mendirikan / menyelenggarakan Pendidikan Masdrasah/ Sekolah Futuhiyyah
3. Menjadi Pengasuh Utama Pon-Pes Futuhiyyah
4. Memperluas lokasi / Areal Pondok Pesantren
5. Merehab dan membangun Prasarana Pondok Pesantren, termasuk membangun Masjid An-Nur dikonplek Pon-Pes Futuhiyyah.
6. Menjadi Anggota Pengurus G.P Ansor Mranggen dan Lasykar Hizbullah Mranggen
7. Menjadi Pengurus Jam’iyyah N.U
8. Menjadi Komandan Barisan Sabilillah, sektor Semarang Timur.
9. Ikut Mendirikan dan menjadi pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia.
10. Mendirikan dan menjadi Pengurus Jam’iyyah Thoriqoh Nahdiyyah
11. Mendirikan Madrasah Aliyah Persiapan F.H.I UNNU Mranggen
12. Mendirikan F.H.I UNNU Fikal Surakarta di Mranggen
13. Mendirikan atau menyelenggarakan Madrasah dan Sekolah Formal.
IV. MENJADI PENGASUH PON-PES FUTUHIYYAH
Sebelum Syeikh K.H. Muslih mondok kembali di Pondok Pesantren Termas, beliau sempat mukim dirumah yaitu Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1931 Masehi selama satu tahun, setelah kembali dari mondok di Pondok Pesantren Sarang.
Pondok Pesantren yang telah direhabilitasi pada tahun 1927 Masehi, atas perintah Syeikh K.H. Abdurrohman, telah berhasil menampung puluhan santri, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi berhenti, setelah diminta oleh N.U cabang Mranggen .
Akhirnya Syeikh K.H. Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di konplek Pon-Pes Futuhiyyah dengan tikat tidak boleh diminta oleh N.U lagi. Jika N.U ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri.
Selang beberapa waktu, Pon-Pes Futuhiyyah mendirikan Madrasah dua kali pada tahun 1927 dan 1929 Masehi. Selama dua kali mendirikan, dua kali pula diminta oleh N.U. Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, Murid dan Gurunya di pindah tempat, yang kemudian dikelola oleh N.U Cabang Mranggen dan dua Kali pula terhenti.
Setelah Madrasah yang didirikan oleh Syeikh K.H. Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian diserahkan oleh adik beliau, yaitu Syeikh K.H. Murodi setelah mukim kembali dari mondok di Lasem dan para gurunya, dengan pesan agar tak boleh dipindah lagi, karena beliau akan Mondok lagi ke Termas.
N.U. cabang Mranggen, akhirnya mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat hidup hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Syeikh K.H. Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas di ajar oleh Syeikh K.H. Ali Maksum (kelas Alfiyyah Ibnu Malik). Semula Syeikh K.H. Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Beliau tetap dipaksa dan dibujuk dengan kata-kata nanti saya ajari oleh Syeikh K.H. Ali Maksum. Setelah itu, Beliau akhirnya bersedia. Namun Ternyata Syeikh K.H. Ali Maksum hanya sekali mengajar Syeikh K.H. Muslih sebagai persiapan mengajar Alfiyyah, yaitu pada malam sebelum esok harinya mengajar, laalu beliau menghilang.
Dengan berat hati Syeikh K. H. Muslih mengajar dikelas yang ditinggalkan Syeikh K.H . Ali Maksum. Dan kira-kira setengah bulan kemudian, Syeikh K.H. Ali Maksum Baru muncul dan bertanya kepada murid – murid kelas tersebut, bagaimana hasil kerja Ustadt baru, murid-murid menjawab baik dan puas, setelah itu Syeikh K.H. Muslih di tetapkan guru kelas tersebut.
Suka duka Syeikh K.H. Muslih tidak menghalangi untuk berenovasi menjadi guru yang baik dan ini terbukti saat dimana santri-santri senior yang ada di Termas tidak disuruh mengajar, justru santri barunya yang disuruh mengajar, yaitu Syeikh K.H. Muslih, maka oleh santri-santri senior tersebut, kursi tempat duduknya di rawe ( diberi bulu buah rawe agar gatal-gatal, hingga tidak jadi mengajar ). Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah akhirnya Syeikh K.H. Muslih pulang dan mukim kembali di Suburan Mranggen kira-kira pada tahun 1935 Masehi, dengan tekad akan mengembangkan pondok pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Dan Al-Hamdulillah pada tahun 1936 Masehi berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah yang bukan M.I, karana pelajarannya sudah setingkat dengan Madrasah Wustho dan Madrasah Tsanawiyyah yang diselenggarakan pada pagi hari.
Mengenai bagaimana tekhnis pengumuman P.M.B yang dilakukan saat itu, sementara saat itu tidak ada radio, tidak ada stensil, tidak ada mesin tulis apalagi fotocopy, tetapi yang jelas, madrasah tersebut penuh dengan murid dan pondoknya semakin banyak jenis santri mukimnya, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul Kiai yang alim.
Sesudah tahun 1950 Masehi pon-pes Futuhiyyah semakin berkembang santri mukimnya semakin bertambah ( antara 300 – 400 orang ), di samping santri lajo yang masih belajar di madrasah maupun sambil mengaji wetinan, berikut datangnya santri pengajian thoriqoh yang dibuka mulai tahun 1950 Masehi. Adapun penyebabnya adalah bervariatif, mungkin Syeikh K.H. Muslih dikenal sebagai Kiai yang enak ngajinya, atau karena adanya aktivitas da’wah dari para mubalighin, termasuk Syeikh K.H. Abdul Hadi yang malang melintang berda’wah seantero Jawa Tengah,dan sebagainya.
Singkatnya, apa yang telah terwujud itu adalah fadlol dan rohmat Allah s.w.t. yang harus diyakini berkat syafa’at ahli silsilah Ilmu Islami aurod mujahadah dan riyadloh, termasuk dzikir thoriqoh, khususnya Syeikh K.H. Ibrohim. Yahya Brumbung, Syeikh K.H. Abdurrohman wa ushulih, Syeikh K.H. Hadi Giri Kusumo, Syeikh Abu Mi’roj Sapen, serta para auliya’-syuhada’ tanah Jawa hingga Walisembilan dan K.S. Fatah beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qodir Al0Jaelani r.a dan ahli silsilahnya hingga Rasulullah s.a.w.
Syeikh K.H. Muslih Abdurrohman selaku pimpinan / pengasuh pon-pes Futuhiyyah harus berjuang pula mencukupi kebutuhan Prasarana dan Sarana pondok pesanten termasuk keperluan dalam menyelenggarakan madrasah, seiring pribadi beliau menggerakkan pulapartisipasi aktif dalam pembangunan pondok pesantren futuhiyyah baik dari santrinya, para wali santri maupun masyarakat baik dalam bentuk sumbangan tenaga, material maupun uang. Adapun sumber – sumber yang lain berasal dari sumbangan pemerintah.
Pada masa hidup beliau, partisipasi santri besar sekali dalam pembangunan pondok pesantren Futuhiyyah, sebagai pengalaman ilmu, ikut andil dalam jariyyah, bersatu dan bergotong royng secara ikhlas merealisasi program pembangunan sekaligus nyadong berkah dari Allah s.w.t. Untukkeperluan hidupnya di dunia dan akhirat kelak