Senin, 23 Mei 2011

Nahdlatul Ulama 1926: Mukadimah Qanun Asasi

Nahdlatul Ulama 1926: Mukadimah Qanun Asasi: "Oleh Rais Akbar Jam'iyah Nahdlatul Ulama KH. M. Hasyim Asy'ari Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al Qur'an kepada hambanya agar ..."

Senin, 18 April 2011


BUPATI : 2/3 DARI TOTAL ANGGARAN APBD UNTUK PENDIDIKAN

SurelCetakPDF
alt
(Release : Bag. Humas Setda). KAJEN – Pendidikan di Kabupaten Pekalongan mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu dibuktikan dengan besarnya pengalokasian dana dari APBD. Untuk tahun 2010, di tengah APBD yang tidak terlalu besar yakni hanya Rp 750 milyar, dana yang dialokasikan untuk pendidikan mencapai Rp 495 milyar atau 2/3 dari total anggaran APBD Kabupaten Pekalongan.
Demikian disampaikan Bupati Pekalongan Dra. Hj. Siti Qomariyah, MA., pada saat meresmikan Revitalisasi Gedung SMP 1 Wiradesa dan Launching Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Implementasi ISO 9001:2008, Sabtu (9/4) di Wiradesa. Acara tersebut dihadiri oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Drs. H. Umaidi, M.Si., Kepala Dindik Kab. Pekalongan beserta jajaran, perwakilan dari beberapa SKPD, Camat dan Muspika Kecamatan Wiradesa, Dewan Pendidikan Kab. Pekalongan, Badan Revitalisasi ISO dan konsultan pembangunan gedung, Kepala Sekolah SMP 1 RSBI Wiradesa dan Kepala Sekolah lain, unsur Komite Sekolah dan tokoh masyarakat serta tamu undangan lain.
Bupati menyampaikan bahwa didalam membangun pendidikan, kita hendaknya dapat mencapai standar-standar yang harus kita capai, mulai tiingkat nasional, provinsial maupun lokal. Kita juga menginginkan tingkat pengembangan manusia (IPM) Kabupaten Pekalongan dapat terkoreksi. “Dan Alhamdulillah dalam waktu lima tahun IPM yang didalamnya adalah indikator pembangunan pendidikan, yang semula pada tahun 2006 mendapat rangking 32 dari 35 Kabupaten/Kota se Jawa Tengah, pada tahun 2010 IPM Kabupaten Pekalongan melampaui 9 daerah lain, sehingga rangkingnya mengecil menjadi 23 dari 35 Kabupaten/Kota se Jawa Tengah,” ungkap Bupati.
“Kita menginginkan IPM dan indikator pembangunan lainnya terus kita tingkatkan, target-target pembangunan harus terus kita capai dan lampaui agar Kabupaten Pekalongan tidak menunggu terlalu lama menjadi daerah dengan rangking sepuluh besar di Jawa Tengah. Bukan tidak bisa karena kita sudah tahu kuncinya dalam membangun yaitu bagaimana indikator itu mendapat perhatian yang baik dan dilaksanakan di seluruh jajaran sampai di tingkat paling bawah,” imbuhnya.
Menurut Dra. Hj. Siti Qomariyah, MA., dalam hal pendidikan, pada tahun 2006 sarana pendidikan SMP di Kabupaten Pekalongan mengalami kekurangan. Demikian pula di tingkat SMA juga mengalami hal yang sama. Untuk SMA, pada tahun 2006 rangking kita ada di 34 karena anak-anak Kabupaten Pekalongan yang bersekolah di SMA sederajat hanya sejumlah 36 persen. Padahal waktu itu kita harus mencapai paling tidak 54 persen di tingkat Jawa Tengah. Beberapa tahun kita melakukan kebijakan yang mengarah pada naiknya indikator capaian pembangunan di level SMA sederajat, yaitu salah satunya adalah kita permudah ijin pembangunan sekolah. Alhasil, dalam lima tahun terakhir tidak kurang dari 20 sekolah SMA/SMK dibangun oleh swasta dan secara keseluruhan, 2/3 SMA sederajat adalah milik swasta karena yang negeri hanya 15 unit, sedangkan 52 unit adalah bangunan swasta.
“Saat ini angka partisipasi SMA di Kabupaten Pekalongan telah mencapai 61 persen. Dan itu telah mengoreksi pendidikan Kabupaten Pekalongan dari level 34 menjadi level 22 untuk tingkat Jawa Tengah. Sementara untuk tingkat SMP, angka partisipasi kasar (APK) telah mencapai 99,34 persen, dimana pada tahun 2006 baru mencapai 70 persen,” ujar Qomariyah.
“Seperti inilah kita membangun yaitu indikator nilai harus kita cermati dan dari waktu ke waktu harus ada capaian-capaian yang meningkat. Dan saya menginginkan kita jangan sekedar menargetkan untuk tingkat Jawa Tengah, tetapi kalau bisa kita mengikuti standar nasional untuk bisa mengangkat Jawa Tengah mempercepat capaian indikatornya sesuai dengan standar nasional. Oleh karena itu saya harapkan hal-hal yang berkaitan dengan indikator pembangunan pendidikan mendapatkan perhatian,” sarannya.
Sesungguhnya masalah pemerataan adalah bagian salah satu saja dari target pembangunan yang sekarang ini dapat dikatakan sudah merata, baik untuk SMA maupun SMP. “Untuk SMP Satu Atap saja, kita sudah bangun 17 unit yang tersebar di wilayah-wilayah yang sulit dibangun sekolah negeri,” ujar Qomariyah.
Bupati menegaskan bahwa masalah pemerataan di bidang pendidikan sudah selesai, kecuali untuk tingkat SMA, kita harus mengikuti tuntutan perkembangan, dimana dalam waktu dekat sasaran target capaian kita bukan hanya pada level 61 persen, tetapi mungkin 80 persen. Oleh karena itu kita masih memberikan peluang kepada swasta dan mungkin juga kalau ada bantuan-bantuan dari Jakarta untuk sekolah-sekolah SMA sederajat akan kita terima dan kita akan permudah pendiriannya. “Hal ini dalam rangka memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak-anak yang luilus SMP dapat melanjutkan ke jenjang SMA sederajat,” katanya.
Dalam kesempatan itu, khusus kepada para sekolah, Bupati menyampaikan bahwa saat ini menjadi kepala sekolah juga disebut sebagai seorang manajer, bukan sekedar sebagai seorang pendidik dan pengelola sekolah. Sehingga seorang kepala sekolah dituntut tahu akan ilmu kontrak dan ilmu konstruksi serta administrasi proyek dan administrasi keuangan. Oleh karena itu jika seorang kepala sekolah dapat melakukan pekerjaan block grand kegiatan berarti kepala sekolah itu telah meringankan tugas pemerintah daerah. Dan itulah semangat otonomi daerah dimana kini semakin banyak pekerjaan diswakelolakan dan diserahkan kepada kepala sekolah dalam pelaksanaan unit kerja di sub-sub satuan kerja perangkat daerah.
Lebih lanjut Bupati menghimbau kepada seluruh kepala sekolah agar dalam melaksanakan tugas block grand tersebut bukan hanya bangunannya sesuai dengan spesifikasi dan rencananya, tetapi diharapkan administrasi keuangannya juga baik. “Karena keuangan yang diadministrasikan dengan tidak benar akan terekam dan menjadi kesalahan di tingkat kabupaten, hal ini karena Bupati menanggung seluruh administrasi keuangan dan administrasi lainnya yang ada di seluruh pelaksanaan pemerintahan mulai dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa,” tegas beliau.
Sementara itu sebelumnya, Kepala Sekolah SMP 1 Wiradesa H. Aji Suryo Sumanto, M.Pd dalam laporannya menyampaikan bahwa penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional adalah sesuai dengan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Untuk pekerjaan revitalisasi gedung telah selesai 100 persen dalam waktu 4 bulan (mulai 21 Oktober 2010 hingga 28 Februari 2011). Menurut Aji, revitalisasi gedung terdiri dari 2 lantai, dimana untuk lantai I meliputi 4 ruang belajar, 1 ruang administrasi dan 1 ruang untuk BP/BK. Sedangkan lantai II, terdiri dari 2 ruang belajar, 1 ruang tamu dan 1 ruang untuk Kepala Sekolah. (di2k/humas setda).

Rabu, 02 Februari 2011

Mengapa Perlu Berorganisasi NU ?


Saya sudah menjalankan ubudiyah ala NU, kenapa saya masih harus aktif berorganiasasi NU?
Memang anda sudah sangat NU. Tapi itu baru secara kultural dalam tradisi keagamannya, dalam ber-habllun minallah. Sementara secara struktural atau organisatoris belum. Organisasi adalah konsep formal, harus ada bukti hitam di atas putih, minimal pernyatan lisan. Seseorang disebut sebagai pengurus organisasi mesti ada SK, minimal pernyatan lisan dari yang berwenang mengangkat. Demikian pula menjadi warga organisasi, harus ada bukti terdaftar dalam registrasi anggota, minimal pernyataan lisan kepada yang berwenang (pengurus). Dengan demiikian, setiap organisasi harus dapat membuktikan, siapa-siapa pengurusnya dan siapa berapa jumlah warganya, secara formal atau tertulis. Tidak bisa hanya klaim.
Barangkali ini kritik untuk NU secara organisatoris?
Ya itulah kualitas organisasi kita. Meskipun sudah 80 tahun lebih masih jauh dari memadai untuk disebut organsiasi. Organisasi itu ibarat kendaraan, muatannya adalah program dan impian-impian. Tanpa organisasi yang kuat, konsep program sehebat apa pun hanya omong kosong.
Tapi perlu dijelaskan lebih lugas, apa perlunya kita ber-NU secara organisatoris?
Seperti pernah saya katakan, NU sebagai organisasi adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawiy), secara fisik tidak tampak, tapi secara sosial nyata adanya. Dalam pengertian ini, NU adalah tempat dimana kita Nahdliyin melakukan amal shalih secara berjamaah. Bedanya dalam masjid fisik-materil amal shalih yang kita jamaahkan bersifat persional (fardiyah-hablum minallah, seperti shalat); dalam masjid virtual berupa oragnisasi NU amal saleh yang kita jamaahkan adalah amal shalih sosial (ijtimaiyah – hablun minannas) yang wujud utamanya ada dua, yakni kesediaan menjunjung tinggi kesepakatan atau keputusan bersama dan kesetiaan membayar infak sesuai ketentuan, betapa pun kecilnya.


Jadi berorganisasi merupakan keharusan?

Ya. Sabda Nabi:  ’Alaikum bil jamaah’ (Hendaklah kalian selalu berjamaah), tidak hanya perintah untuk shalat jamaah di masjid fisikal, tapi untuk amal saleh dalam masjid virtual, yakni organisasi. Bukankah shalat berjamaah tidak lain artinya adalah shalat secara terorganisir. Rukun organisasi ada 4 perkara:  Pertama ada makmum atau warga; Kedua ada imam, pemimpin atau pengurus; Ketiga ada tujuan bersama; Keempat ada aturan main yang ditaati oleh semua. Ber-amal secara berjamaah dalam wadah NU, sama saja dengan shalat secara berjamaah di masjid, pahalanya berlipat.
Bagaimana dengan yang tidak terlalu berharap pahala?
Kalau begitu saya coba yakinkan dengan argumen lain. Bukan naqliy, tapi aqliy, nalar empirik saja. Begini: Beroraganisasi atau berjamaah itu mutlak penting karena tidak mungkin manusia hidup tanpa kebersamaan dengan orang lain. Ada tiga trilogi kebersamaan: dari, bersama dan untuk orang lain. Pertama manusia tidak mungkin lahir di dunia jika tidak dari sesama jenis manusia. Tidak ada mansuia lahir dari kambing atau monyet.
Kedua, untuk bisa tumbuh menjadi manusia, anda harus bersama manusia lain. Meski terlahir sebagai manusia, tapi jika sehari-hari hidup hanya dengan orang utan, meskipun secara fisik tetap manusia tapi jiwanya orang utan. Manusia itu anak lingkungannya. Hidup sama orang jahat bisa terbawa jahat, sama orang-orang baik bisa terbawa menjadi baik.
Ketiga, puncaknya, kalau anda ingin menjadi manusia mulia dan terpuji, anda musti hidup untuk mansuia lain. Semakin besar amal dan kiprah anda untuk sesama, semakin mulia dan terpujilah anda sebagai manusia. Organsiasi adalah sebaik-baik ruang dimana anda bisa hidup bersama dan berbuat untuk orang lain. Dalam kaitan inilah Mbah Hasyim (KH Hasyim Asy’ari) pernah wanti-wanti kepada orang-orang yang aktif di NU, sebagai anggota dan terutama sebagai pengurus: “Hidup-hidupilah NU jangan mencari hidup dari NU!”
Banyak di kalangan kita yang justru lebih memilih hidup dan bertindak secara sendiri-sendiri, dengan berbagai alasan tentunya.
Benar sekali! Karena sesungguhnya, ruh berorganisasi, meminjam bahasa Nahwu dan Tasawuf, adalah keikhklasan untuk meleburkan ke-aku-an (ananiyah) ke dalam ke-kita-an (nahnuwiyah). Organisasi apa pun tidak akan pernah berjalan sehat, kalau masing-masing komponennya masih mempertahankan ke-aku-annya.
Ambil sebuah misal. Kita menghadapi persoalan bus mogok karena aki tekor, yang jika didorong oleh 10 orang saja secara berjamah, pasti jalan. Sementara kita bukan hanya punya 10 orang, tapi 10 ribu bahkan 10 juta bahkan lebih banyak lagi. Namun mendorongnya sendiri-sendiri. Atau ada yang berjamaah tapi hanya 3 orang. Maka sampai kiamat juga tidak bisa jalan itu bus.
Bandingkan dengan kelompok lain yang warganya hanya pas-pasan 10 orang dan mereka mau berjamah, maka jalanlah mobil itu. Inilah rahasia firman Allah SWT: Begitu banyak kelompok kecil bisa mengalahkan kekuatan kelompok besar karena izin Allah, yakni berjamaah. Rasulullah SAW juga senada: Yadullah fauqal jamaah (Kekuatan Allah SWT yang  pasti luar biasa hanya dianugerahkan kepada mereka yang ikhklas berjamaah). Kita pandai mengkhutbahkannya tapi tidak mengamalkannya.
Jadi jika segenap Nahdliyin dengan ikhlas bergabung dalam NU pasti luar biasa kekuatan kita?
Betul, kalau itu terjadi, pastilah NU menjadi berkah luar biasa bagi umat dan bangsa ini.  Mari kita buat itung-itungan sederhana saja. Ambil 50 juta Nahdliyin, setiap hari infak dengan uang yang untuk beli sebiji kerupuk pun tidak dapat: Rp 350/ orang, berarti Rp 10.000 perbulan perorang. Maka total perbulan bisa dihimpun dana: Rp. 500.000.000.000 (baca:  Rp 500 milyar). Artinya dalam waktu 1 bulan saja NU bisa bangun/ renovasi 500 kantor masing-masing seharga 1 milyar rupiah. Dan setahun NU bisa bangun / renovasi 6000 gedung sekolahan/ balai pengobatan/ pemondokan santri masing-masing seharga 1 milyar.
Kenapa itu tidak pernah terjadi selama ini?
Itu persoalan organisasi dan manajeman, kelemahan terparah kita, yang kita tidak mau menyadarinya selama ini. Dan ini bukan teori kosong. Lihat, organsiasi-organisasi keumatan yang lain, muslim maupun non-muslim yang jumlah umatnya jauh lebih sedikit, mereka telah menggarapnya sejak lama dengan keberhasilan luar biasa. Maka meskipun jumlah umatnya jauh di bawah kita, mereka telah bisa berbuat sangat banyak. Percayalah kita pasti bisa, asal kita serius membenahi organisasi.
Sementara ini memang kita belum bisa mandiri
Biarlah itu menjadi masa lalu. Tanggungjawab kita semua kaum Nahdliyin untuk membebaskan NU dari kebiasaan seperti itu. NU adalah masjid luar biasa agung, tempat jutaan Nahdliyin (seharusnya) beramal saleh secara berjamaah, jangan pernah lagi kita rendahkan. Kewajiban kita segenap Nahdliyin untuk memakmurkannya bagi kejayaan uumat dan bangsa. *** [Sumber: NU Online)

Senin, 31 Januari 2011

Dari Ekstrem ke Jalan Tengah

Oleh : KH Said Aqil Siradj
Gerak-gerik pemikiran dan gerakan Islam di negeri kita belakangan ini menarik diamati. Semenjak reformasi yang telah mengubah wajah negeri ini bergulir, terjadi babak baru erupsi bagi kebangkitan etno-religius. Gelombang pemikiran dan gerakan baru keagamaan itu tampil dengan paradigma berbeda. Di garda depan, ada arus liberalisme Islam seayun dengan kebangkitan fundamentalisme dan puritanisme Islam. Bahkan, menyeruak pula agama-agama baru seperti Lia Eden.

Problem mendasar yang menggelayuti umat Islam tampaknya masih saja berkutat pada problem transformasi global dan situasi lokal yang tidak menentu akibat transisi pascareformasi. Problem krusial inilah yang menyentakkan kesadaran mengenai cara menyikapi hidup di zaman modern ini. Pasalnya, memilih tetap berpegang teguh pada tradisinya berarti terjebak pada eksklusivisme pemikiran. Model ini yang diperankan oleh kalangan fundamentalisme dan radikalisme Islam.

Di sisi lain, merengkuh modernitas secara buta akan membuat umat Islam tercerabut dari akar tradisinya. Model ini, misalnya, diperagakan oleh modernisme dan liberalisme Islam. Sejatinya, yang berimbang adalah menerima keduaduanya, yakni hidup secara modern tetapi tetap berpangku pada akar tradisinya secara kuat. Memang ini bukan perkara mudah. Akan tetapi, seperangkat pemikiran yang terbuka dan kritis, baik terhadap tradisi maupun modernitas, sepatutnya menjadi pijakan mendasar.

Mencairkan Pengutuban

Di sinilah pentingnya mengudar kembali nilai-nilai Aswaja(ahlussunnah wal jamaah). Aswaja merupakan metode berpikir sekaligus metode gerakan yang sangat penting bagi perumusan sikap umat Islam. Aswaja penting dalam kerangka memperkukuh kembali basis moderatisme. Sejarah telah membuktikan bahwa cara berpikir model Aswaja mampu menjadi jalan tengah dalam pergolakan pemikiran Islam kala itu yang kemudian pernah mengalami kebuntuan.

Kala itu, sikap Aswaja telah mencairkan dua kutub ekstrem pemikiran, antara Mu’tazilah dan Qadariyah dengan kubu Khawarij dan Jabariyah. Dalam konteks kekinian, upaya pemberdayaan pemikiran Aswaja diharapkan bisa menengahi perseteruan dua gerakan Islam kontemporer yang juga sama-sama ekstrem, yaitu ekstrem liberalis dan ekstrem fundamentalis. Sembari pula, yang sangat penting adalah penguatan secara kontinu sikap-sikap moderat, toleran, dan kosmopolitan.

Dalam mempertahankan dan mengembangkan konsep Aswaja, selayaknya perlu upaya progresif. Artinya, tidak hanya bertumpu pada pemahaman yang puritan dan antikritik. Moderatisme Aswaja memang telah diletakkan secara mendasar oleh tokoh-tokoh pemikir kampiun seperti Syafi ’i, Maliki, Hanafi dan Hambali dalam bidang fi kih, atau al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, serta oleh al- Ghazali dan al-Junaidi dalam bidang tasawuf.

Tokoh-tokoh tersebut telah menjadi acuan utama (marji al-’ala)bagi prinsip dan tata nilai Aswaja yang telah sukses menunjukkan jalan bagaimana umat Islam harus senantiasa berada pada sikap jalan tengah. Lebih dari itu, sudah waktunya untuk berikhtiar menjauhi sikap sakralisasi pemikiran keagamaan yang hanya akan menghasilkan eksklusivisme keberagamaan. Meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri, sakralisasi terhadap tradisi akan membawa pada “tradisionalisme”.

Atau menukil pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, sakralisasi akan melahirkan masyarakat dengan peradaban teks, yakni masyarakat yang cara berpikirnya dimulai dari teks, melalui teks, dan berakhir pada teks. Pada masyarakat seperti inilah lahir konservativisme peradaban Islam. Seperti dipahami, munculnya Aswaja hakikatnya merupakan respons atas perkembangan pemikiran umat Islam yang cenderung ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri.

Melalui jalan tengah inilah prinsip-prinsip pemikiran Aswaja menetaskan sikap tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Sikap jalan tengah ini jelas masih relevan jika dikaitkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menderas dewasa ini, seperti lahirnya model keberagamaan baru yang sama-sama ekstrem, baik ekstrem liberal maupun radikal (tatharruf). Aswaja akan bisa menjadi jalan tengah untuk menetralisasi dua ekstremitas pemikiran Islam.

Dengan prinsip Aswaja, umat Islam tidak terjebak pada cara berpikir yang kaku dan eksklusif, juga tidak terjebak pada pemikiran liberalisme yang kebablasan. Dalam ungkapan lebih tandas, umat Islam dapat menerima modernitas sembari tetap menghargai tradisinya secara kokoh. Inilah yang dikenal dengan kaidah al muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yakni mempertahankan tradisi atau pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik.

Berpangkal dari prinsip-prinsip Aswaja ini pula, umat Islam tidak akan mudah mengafirkan atau menyesatkan orang lain hanya karena perbedaan semisal dalam babagan ibadah (furu’iyyah)seperti soal tahlilan, shalawatan, istighasah dan lainnya yang saat ini tengah menjadi bahan persitegangan kembali antara kelompok Salafi -Wahabi dan NU. Tegasnya, umat Islam tidak akan gampang menuduh sesat terhadap mereka yang berseberangan yang hanya menguras energi secara sia-sia serta hanya mengulang sejarah kelam umat Islam terdahulu.

Idealnya, umat Islam selalu berpegang teguh pada prinsipra’yuna shawab yahtamil al-khata wa ra’yu ghairina khatha yahtamil alshawab (pendapat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat orang lain keliru tapi mungkin saja benar). Di altar lain, prinsip Aswaja akan berfungsi pula menjadi rujukan dalam memagari pemahaman yang serba menghalalkan segala cara(ibahiyyah).

Walhasil, prinsip-prinsip Aswaja sudah seharusnya terus dikembangkan sebagai basis moderatisme umat Islam dalam berselancar meningkahi perjalanan sejarahnya dari masa ke masa, baik dalam ranah sosial-politik maupun sosial-keagamaan. Tuntutan pembaruan dan keharusan berpijak di atas tradisi dan modernitas secara simultan saat ini kian niscaya untuk senantiasa dijadikan acuan sikap umat Islam Indonesia yang hidup di alam multikultural ini. Hanya dengan itu, ada jaminan umat Islam Indonesia akan mampu mempertahankan sikap moderat sekaligus tampil di barisan terdepan dalam turut serta menebar kedamaian dunia.

Tulisan ini sudah dimuat di harian Koran Jakarta, Sabtu, 22 Januari 2011

Jumat, 28 Januari 2011

Jangan Tertipu Gamis dan Jenggot

Jakarta, NU Online
Munculnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia yang meresahkan dan merenggut banyak korban jiwa adalah karena selama ini Nahdlatul Ulama tidak pernah diajak bekerjasama oleh Pemerintah. Demikian disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, kepada NU Online, 28 Desember 2010.

“Kenapa muncul Amrozi, Ali Gufron, Mukhlas, dan gerakan radikal lain? Jawabannya mudah, karena Nahdlatul Ulama tidak diajak bersama-sama membangun bangsa ini selama 32 tahun,” tegasnya. Lalu ia mencontohkan bahwa selama Orde Baru berlangsung, Menteri Agama, kepala kantor wilayah departemen agama hingga kepala madrasah tidak boleh dipegang orang NU.

Kang Said menambahkan, “Padahal khazanah keagamaan mereka sangat minim. Kalau hal ini terjadi di Jawa mungkin masih ditolerir, karena masih banyak kiai. Namun kalau di luar Jawa, mereka benar-benar menjadi satu-satunya tempat bertanya tentang agama.”

“Dalam satu, dua, hingga tiga kali ceramah mungkin penyampaiannya masih bagus. Namun di ceramah selanjutnya, karena minimnya pengetahuan mereka dan kehabisan bahan ceramah, maka yang disuarakan adalah, ‘awas ada kristenisasi’, ‘mari bakar gereja itu’, dan lain sebagainya,” tambah pria kelahiran Cirebon ini.

Untuk menutupi minimnya pengetahuan mereka, masih menurut Kang Said, mereka menutupinya dengan pakaian ala Arab. “Jangan mengira bahwa yang memakai gamis dan berjenggot itu hanya Nabi Muhammad, Abu Jahal pun juga bergamis dan berjenggot. Jadi jangan mudah tertipu dengan penampilan, karena belum tentu jelas pengetahuannya tentang Islam,” ujar Kang Said sambil tersenyum.

“Kesimpulannya, kalau Indonesia ini ingin selamat, NU harus diajak bersama-sama membangun bangsa ini,” pungkas Kang Said. (bil)

Rabu, 19 Januari 2011

GP Ansor Sebagai Ujung Tombak Perjuangan NU

Oleh KH Said Aqil Siradj
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Gerakan Pemuda Ansor memiliki posisi penting dalam NU sejak awal kelahirnnya, tidak hanya berperan sebagai penyemaian kader-kader NU yang dinamis dan militan, tetapi juga sekaligus sebagai ujung tobak bagi perjuangan NU di semua sektor kehidupan. 

Dalam situasi tantangan kebudayaan global dewasa ini NU diharapkan bisa tetap eksis, bahkan diharapkan dapat mewarnai kehidupan global dewasa ini  yang penuh persaingan dan pertikaian antara berbagai ideologi-ideologi yang ekstrem dan radikal yang mengancam ketenteraman dan kedamaian. Dilain pihak gaya hidup yang konsumtif dan penghamburan energi yang berlebihan tidak hanya membuat kerusakan lingkungan sehingga terjadi climate change (perubahan iklim) dan cuaca ekstrem dalam dekade terakhir ini, tetapi juga mengakibatkan kesenjanga sosial antara kaya dan miskin.

Di tengah munculnya ektrem ideologi, ekstrem gaya hidup, itu NU akan tetap mengambil jalan tengah (ummat wasathan), karena ini merupakan jalan Islam yang sesungguhnya, sebagaimana Firman Allah. 

“Dan demikianlah aku menciptakanmu sebagai umat yang (moderat, adil), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatanmu.” (QS: Al Baqarah 143).

Dalam menjalanan tugas ini tentu tidak mudah, banyak tantangan terutama dari ideologi ekstrem yang ada, maka dalam kondisi seperti ini GP Ansor NU harus tampil di garis depan perjuangan NU untuk membentengi ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah.Ajaran ahlusunnah ini berpegang teguh pada Sunnah Nabi secara,qoulan wa fi’lah wa taqriran (sabda, tindakan dan kesepakatan). Sebagai pembawa misi kenabian maka ahlussunnah selalu berpegang pada prinsip jamaah yaitu bersama dan membela kepentingan masyarakat banyak. 

Dalam kondisi seperti ini maka sebenarnya Ansor di sini tidak terbatas hanya Ansoru Nahdlatul Ulama, tetapi lebih jauh lagi menjadi Ansorul Islam, Ansarullah dan Ansorul Wathan (Pembela Tanah Air). Ini bukan pengandaian tetapi telah diperankan GP Ansor.

Menghadapi tanggung jawab agama, negara dan bangsa ini GP Ansor NU perlu menyingsingkan lengan baju, karena hanya dengan demikian akan bisa  mengemban peran besar sebagaisyuhudu hadhari (penggerak peradaban) bangsa, tetapi juga berperan sebagai syuhud tsaqafi (penggerak intelektual) dalam membangun dan menyangga bangsa ini. Komitmen NU pada bangsa ini tidak bisa ditawar, karena NU terlibat dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sehingga ketaatan NU pada Bangsa dan negara ini bersifat mutlak. Dalam negara ini ini bukan sekadar berperan sebagaistake holder (pemangku kepentingan) yang tidak memiliki peran apapun,  sebagaimana sering disebut orang. NU turut mendirikan negara ini dengan pengorbanan harta dan nyawa, karena itu NU duduk sebagai share holder (pemilik saham) dalam NKRI ini, sehingga posisinya kuat dan memiliki tanggung jawab terhadap negara ini. 

Sebagai salah satu pendiri  NKRI maka sense of belonging (rasa memiliki) NU terhadap negara ini sangat tinggi sehingga harus terus dibela dan dijaga dalam koridor empat pilar utama  yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Demikian sikap NU terhadap negara ini. Sementara terhadap pemerintah NU menggunakan pendekatan amar makruf nahi munkar, bila pemerintah berjalan sesuai dengan aturan dan aspirsi rakyat, maka NU akan mendukung penuh kebijakan pemerintah, tetapi ini bukan berarti NU berkoalisi. Karena NU bukan partai politik yang bisa melakukan koalisi dengan pemerintah. Sebaliknya bila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan konstitusi dan aspirasi rakyat, maka NU akan melakukan kritik, namun ini tidak berarti oposisi, NU bukan partai politik yang bisa beroposisi. 

Dengan demikian sikap NU terhadap pemerintah akan lebih proporsional dan rasional tidak apriori menerima sebagimana lazimnya dilakukan oleh kelompok koaliasi. Dan tidak apriori menolak sebagaimana dilakukan kelompok oposisi. Dengan demikian diharapkan NU akan mampu menjaga keseimbang kehidupan bernegara. Dalam konteks ini Peran GP Ansor sangat diperlukan bahkan harus menjadi ujung tombak dari gerakan kultural NU dalam menjaga bangsa dan negara ini. Tanpa diminta terbukti Ansor selalu menunaikan tugas ini. Untuk mengefektifkan peran ini tentunya GP Ansor NU perlu melakukan konsolidasi dan kaderisasi secara terencana dan teratur.


Konsolidasi Organisasi

Menghadapi tugas berat baik yang dihadapi oleh NU dan negara serta bangsa ini, tentu diperlukan sebuah organisasi yang solid, sehingga bisa berjalan secara efektik. GP Ansor NU yang lahir 1934 telah berkembang luas yang memiliki cabang di seluruh penjuru tanah air. Dan memainkan peran di seluruh level perjuangan. Setiap zaman membawa tantangannya sendiri dan setiap tantangan perlu respon dan jawaban tersendiri. Karena itu bagaimanapun organisasi yang besar ini perlu terus dikonsolidasi, ditata ulang manejemen kepemimpinannya, agar mamapu merespon dan mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi.

Sistem kehidupan sosial di alam modern yang lebih individual dan rasionalistik dengan sendirinya telah merenggangkan ikatan-ikatan sosial tradisional. Dengan demikian juga akan mempengaruhi pola berorganaisasi.  Kerenggangan organisasi kalau dibiarkan akan melemahkan gerak organisasi. Sementara organisasi yang lamban bergerak akan sulit merespon perkembanagan yang terjadi dengan sedemikian cepat. Demikian pula derasnya arus perubahan soosial juga mempertinggi tunbtutan masyarakat, semuanya ini hanya bisa direspon dan diantisipasi oleh organisasi yang benar-benar solid.

Dari zaman ke zaman GP Ansor bisa membuktikan kemampuannya mengambil peran dalam kehidupan di negeri ini. Bahkan dalam situasi paling sulit pun Ansor bisa mengambil peran strategis. Ini tidak lain karena organisasi ini mampu menjaga keutuhan organisasi, sehingga peran-perannya masih dirasakan tidak hanya oleh umat Islam tetapi juga oleh bangsa ini. Situasi telah berubah, tantangan ke depan makin besar, sendi-sendi organisasi muai digerogoti oleh sikap apriori, sikap mementingkan diri sendiri. Agenda bagi Ansor adalah bagaiman terus menggairahkan spirit berorganisasi, spirit membela rakyat dan keutuhan bangsa. Ini arti penting konsolidasi organisasi.

Menggerakkan Kaderisasi.

Sejak awal berdirinya GP Ansor NU adalah merupakan sebuah organisasi kader, organisasi ini didirikan untuk menyiapkan kader muda yang nantinya akan berperan di NU. Bayangkan NU telah lahir sebelum negara Indonesia ini ada, dan sekarang masih tetapi ada tidak kurang sedikit apapun bahkan semakin besar, sementara banyak organisasi seusia yang sudah tiada. Rahasia NU sebagai organisasi yang mamapu bertahan melewatan berbagai zaman yang kini berusia 85 tahun tidak lain salah satunya karena tertibnya NU dalam melaksanakan kaderisai, yang salah satunya dilaksanakan oleh GP Ansor.

Keberlangsungan organisasi selain ditunjang oleh adanya ajaran yang selalu relevan juga ditunjang oleh adanya sistem kaderisai yang runtut. Tanpa adanya kaderisasi tidak mungkin dilakukan regenerasi secara sempurna, sementara organisai tanpa regenerasi akan mengalami kejumudan dan stagnasi. Dari situ banyak organisqsiyang laahair kemudian pada berguguran. Kepentingan pragmatis dan jangka pendek, selalu mengabaikan program kaderisasi, karena kaderisai diangap sebagai sesuatu yang mahal dan tidak jelas hasilnya. Memang kaderisasi adalahhuman invesment (investasi kemanusiaan) jangka panjang, maka hanya pemimpin yang visoner saja yang peduli pada kaderisasi ini. 

Kaderisasi ini terbukti tidak hanya dikhususkan untuk NU tetapi lebih luas lagi sebagai kaderr bangsa, terbukti banyak kader GP Ansor ayang berkiprah di berbagai lembaga-lembaga strategis, baik di pemerintahan, di organisasi kemasyarakat, di partai politik, di perguruan tinggi, di lembaga profesi, ketentaraan dan lain sebagainya. Dengan demikian menjalankan kaderisasi juga merupakan investasi besar dan sekaligus peran penting dalam membangun bangsa dan negara ini secara keseluruhan. Mengingat sangat variatifnya anggota GP Ansor, maka kaderisai mesti dilakukan secara multi disiplin dan perlu diutamakan  pengembangan masing-masing  talenta dari anggota, agar diseminasi atau penyebaran kader GP Ansor semakin meluas, sehingga perannya juga semakin besar.

Kaderisiasi yang teratur dan berwawasan ini eengan sendirinya akan melahirkan kepemimpinan yang visioner yang mampu membuka cakrawala organisiai dan cakap dalam mengelola organisasi dalam kondisi apapun, sehingga mampu mengemban amanat organisasi yang tidak lain adalah amanat agama dan amanat bangsa. Pemimpin yang mampu memegang amanah itulah yanga sangat diharapkan perannya dalam organisasi sebesar GP Ansor ini.

Waallahul muwafiq ila aqwamith thariq.

Wassalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Disampaikan dalam pembukaan Kongres Ke XIV GP Ansor NU di Surabaya, 13 Januari 2011

Senin, 17 Januari 2011

Pengaruh Dzikir Terhadap Ketenangan Jiwa

Surat al-Ra'd / 13:28, menyebutkan bahwa dengan mengikat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram. Dzikir sebagai metode mencapai ketenagan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara keras (dzikr jahr), dan dengan kalimat-kalimat thayyibah yang memfokus, dari kalimat syahadat La ilaha illa Allah ke lafazh Allah dan sampai ke lafazh hu.   
Sebenarnya hubungan dzikir dengan ketentraman jiwa dapat dianalisis secara ilmiah. Dzikir secara lughawi artinya ingat atau menyebut. Jika diartikan menyebut maka peranan lisan lebih dominan, tetapi jika diartikan ingat, maka kegiatan berpikir dan merasa (kegiatan psikologis) yang lebih dominan. Dari segi ini maka ada dua alur pikir yang dapat diikuti:

a)  Manusia memiliki potensi intelektual. Potensi itu cenderung aktif bekerja  mencari jawab atas semua hal yang belum diketahuinya. Salah satu hal yang merangsang berpikir adalah adanya hukum kausalitas di muka bumi ini. Jika seseorang melahirkan suatu penemuan baru, bahwa A disebabkan B, maka berikutnya manusia tertantang untuk mencari apa yang menyebabkan B. Begitulah seterusnya sehingga setiap kebenaran yang di temukan oleh potensi intelektual manusia akan diikuti oleh penyelidikan berikutnya sampai menemukan kebenaran baru yang mengoreksi kebenaran yang lama, dan selanjutnya kebenaran yang lebih baru akan ditemukan mengoreksi kebenaran yang lebih lama.

Sebagai makhluk berfikir manusia tidak pernah merasa puas terhadap 'kebenaran ilmiah' sampai ia menemukan kebenaran perenial  melalui jalan supra rasionalnya. Jika orang telah sampai kepada kebenaran ilahiah atau terpandunya pikir dan dzikir, maka ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebenaran yang lain, dan ketika jiwa itu menjadi tenang, tidak gelisah dan tidak ada konflik batin. Selama manusia masih memikirkan ciptaan Allah SWT dengan segala hukum-hukumnya, maka hati tidak mungkin tenteram dalam arti tenteram yang sebenarnya,  tetapi jika ia telah sampai kepada memikirkan Sang Pencipta dengan segala keagungannya, maka manusia tidak sempat lagi memikirkan yang lain, dan ketika itulah puncak ketenangan dan puncak kebahagiaan tercapai, dan ketika itulah tingkatan jiwa orang tersebut telah mencapai al- nafs al-muthma'innah.

b) Manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, tidak ada habis-habisnya, padahal apa yang dibutuhkan itu tidak pernah benar-benar dapat memuaskan (terbatas). Oleh karena itu selama manusia masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh ketentraman, karena yang terbatas (duniawi) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas (nafsu dan keinginan). Akan tetapi, jika yang dikejar manusia itu Allah SWT yang tidak terbatas kesempurnaan-Nya, maka dahaganya dapat terpuaskan. Jadi jika orang telah dapat selalu ingat (dzikir) kepada Allah maka jiwanya akan tenteram, karena 'dunia' manusia yang terbatas telah terpuaskan oleh rahmat Allah yang tidak terbatas.

Hanya manusia pada tingkat inilah yang layak menerima panggilan-Nya untuk kembali kepada-Nya dan untuk mencapai tingkat tersebut menurut al-Rozi hanya dimungkinkan bagi orang yang kuat potensinya dalam berpikir ketuhanan atau kuat dalam 'uzlah dan kontemplasi (tafakkur)-nya.

Jadi al-nafs al-muthma'innah adalah nafs  yang takut kepada Allah, yakin akan berjumpa dengan-Nya, ridlo terhadap qodlo-Nya, puas terhadap pemberian-Nya, perasaannya tenteram, tidak takut dan sedih karena percaya kepada-Nya, dan emosinya stabil serta kokoh.

Wassalam,
agussyafii

Minggu, 16 Januari 2011

Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama ( MA NU ) Karangdadap


Pada tanggal 12 Januari 2011 jam 13.45 WIB 
Kepala Kantor Kementerian Agama ( Kemenag ) Kabupaten Pekalongan  DR.H.Ahmad Umar, MA dan Drs.H Suhaimi di dampingi Kepala KUA Karangdadap (Drs H Ahmad Casmudi), Ketua MWC NU Karangdadap (H Asror Abd Rozaq) dan Pengurus Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Karangdadap Drs H A Munir dan Mukhibbin, hadir di  Karangdadap dalam rangka meninjau lokasi Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Karangdadap yang akan beroperasi mulai tahun Pelajaran 2011 - 2012 yang akan datang


Lokasi Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama ( MA NU ) Karangdadap 
yang di tinjau tersebut terletak disebelah utara lokasi SMP NU Karangdadap (nampak dalam gambar diatas) bagian tembok bangunan MA NU yang disebelahnya ada beberapa kendaraan yang di parkir


Beliau mengatakan pada pengurus MA NU Karangdadap agar segera mempersiapkan segalanya 
diantaranya perlunya sosialisasi ke SMP / MTs terdekat juga terhadap masyarakat  Kecamatan Karangdadap dan sekitarnya, walaupun sudah  ada SMK N kami yakin bahwa MA NU Karangdadap
juga salah satu pilihan bagi masyarakat yang berbasis agama seperti karangdadap ini


Kemudian pada jam 14.40 WIB Kepala Kemenag (DR H.A.Umar) beserta rombongan meninggalkan lokasi dan sebelumnya berjanji akan membawa Proposal Ijin Operasional MA NU Karangdadap tersebut pada awal Pebruari 2011 ke Kanwil Kemenag Jawa Tengah bersama tiga Madrasah Aliyah yang lain, karena pada tahun ini di Kabupaten Pekalongan ada empat (4) Madrasah Aliyah baru yang akan mulai menerima siswa baru pada tahun pelajaran 2011 - 2012, salah satunya MA NU Karangdadap